- Pendahuluan
Agama Islam adalah agama yang menganut azaz persamaan (equality) sesama
manusia dan saling bertergantungan satu sama lainnya.Islam tidak membedakan
antara manusia pria atau wanita, orang Arab atau orang non Arab (‘ajam), orang
bangsawan atau rakyat jelata karna semuanya sama kedudukannya dimata Allah. Hal
ini Allah nyatakan dalam firman-Nya dalam Q.S al-Hujurat ayat 13 : “Hai
manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang pria dan wanita , dan
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal
(rukun dan damai), sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah
orang yang paling bertaqwa di antara kamu”. Ayat ini memberikan pemahaman
bahwa allah tidak memandang status siapa pun diatas dunia ini karena dengan
adanya perbedaan itu menjadikan dirinya lebih dekat kepada allah karena adanya
perbedaan mnenjadikan sebuah konsep ilmu dalam mengembangkan pola pikir dan
jakrawala . Karena itu tidak mengherankan jika ada orang yang tadinya adalah
budak, orang tawanan, dan setelah ia masuk Islam dan dibebaskan, dia akhirnya
menjadi orang penting, bahkan ada yang menjadi panglima, dan raja-raja besar.
Dalam sejarah Islam, raja-raja yang berasal dari budak ini disebut Mamalik,
atau oleh literatur Barat Mamluk.[1]
Penulis akan membahas sebuah dinasti yang didirikan oleh kaum mamluk. Dalam dunia Islam ada dua
pemerintahan yang berhasil didirikan oleh kaum mamluk, yaitu Dinasti Mmluk di
India (1206-1290) yang dibentuk oleh Qutbuddin Aybak, dan Dinasti Mamluk di
Mesir (1250-1517).[2]
Pada kesempatan ini penulis akan secara khusus membahas Dinasti Mamluk yang ada
di Mesir. Kalau ada negeri Islam yang selamat dari kehancuran akibat
serangan-serangan bangsa Mongol, baik serangan Hulagu Khan maupun serangan
Timur Lenk, maka negeri itu adalah Mesir yang ketika itu berada di bawah
kekuasaan Dinasti Mamluk (Mamalik).[3]
- Asal Usul Dinasti Mamluk di Mesir.
Kata Mamluk adalah bentuk mufrad dari kata Mamalik dan Mamlukun
yang berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja
agar menjadi tentara dan pegawai pemerintah. Seorang Mamluk berasal dari ibu
bapak yang merdeka, bukan dari budak atau hamba sahaya. Berbeda dengan ‘abd,
yang dilahirkan oleh ibu bapak yang juga berstatus sebagai hamba yang kemudian
dijual. Perbedaan lain adalah Mamluk biasanya berkulit putih, sedangkan ‘abd
berkulit hitam.[4]
Sebagian Mamluk berasal dari Mesir,
yaitu golongan budak yang dimiliki para sultan dan amir pada masa kesultanan
Bani Ayyub. Para Mamluk Dinasti Ayyubiyah ini berasal dari Asia Kecil, Persia,
Turkistan dan Asia Tengah. Mereka terdiri dari suku-suku bangsa Turki, Rusia,
Kurdi, Syracuse dan bagian kecil dari bangsa Eropa.[5]
Dinasti Mamluk didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah
orang-orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayyubiyah sebagai budak,
kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Para Mamluk ini ditempatkan pada
kelompok tersendiri yang terpisah dari
masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir, Al-Malik Al-Shaleh, mereka
dijadikan tentara dan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada
masa ini mereka mendapatkan hak-hak istimewa, baik dalam imbalan materil maupun
dalam hal ketentaraan.[6]
Kerajaan Mamluk dibagi menjadi dua periode berdasarkan daerah asalnya.
Golongan pertama disebut dengan Mamluk bahri. Golongan pertama ini berasal dari
kawasan Kipchak (Rusia Selatan), Mongol, dan Kurdi. Mereka ditempatkan di Pulau
Raudhah di Sungai Nil. Di sinilah mereka menjalani latihan militer dan
pelajaran keagamaan. Karena penempatan mereka inilah mereka dikenal dengan
julukan Mamluk Bahri (budak lalut/air).[7]
Golongan kedua dinamakan Mamluk Burji, yang berasal dari etnik Syracuse
di wilayah Kaukakus. Golongan kedua inilah yang berhasil bertahan untuk
berkuasa pada Dinasti Mamluk.
- Mamluk Bahri (648-792 H/ 1250-1389 M)
Nama Mamluk Bahri dinisbatkan pada sebuah tempat yang disediakan oleh
Sultan Malik Shaleh Najmuddin Ayyub kepada para Mamluk, tempat ini berada di
sebuah pulau di tepi Sungai Nil, yaitu Pulau Raudhah. Pulau ini dilengkapi
dengan senjata, pusat pendidikan, dan latihan militer. Sejak itu para Mamluk
ini dikenal denga sebutan Al-Mamalik Al-Bahriyyah (para budak lautan).[8]
Salah satu yang merupakan keunikan dari sejarah pemerintahan Dinasti
Mamluk ini adalah adanya ambisi untuk menjadi Sultan dari seorang Mamluk wanita
yang bernama Syajar Ad-Dur. Dia adalah isteri Sultan Dinasti Ayyubiyah,
Al-Shaleh Najmuddin Ayyub. Syajar Ad-Dur mengambil alih kekuasaansetelah
suaminya meninggal dunia dalam pertempuran melawan pasukan Louis IX di Dimyath,
Mesir. Putra mahkota Turansyah ketika itu sedang berada di Syam. Untuk menjaga
agar semangat pasukan Islam, sang istri menyembunyikan berita kematian suaminya.
Setelah Turansyah tiba di Mesir untuk berkuasa, ia dibunuh oleh pengikut Syajar
Ad-Dur. Kepemimpinan Syajar Ad-Dur ini berlangsung selama 80 hari.[9]
Dalam sumber lain dikatakan bahwa setelah Al-Malik Shaleh meninggal (1249
M), anaknya Turansyah naik tahta sebagai Sultan. Golongan mamalik merasa
terancam karena turansyah lebih dekat dengan tentara asal Kurdi. Akhirnya, pada
tahun 1250 M, Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh
Turansyah. Setelah kejadian ini Syajar Ad-Dur yang juga berasal dari kaum
Mamluk mengambil alih kekuasaan.Kekuasaannya berlangsung lebih kurang selama
tiga bulan.[10]
Kekuasaan Syajar Ad-Dur ini berakhir dengan adanya teguran dari Khalifah
Abbasiyah di Baghdad, bahwa yang memerintah itu seharusnya adalah seorang pria
dan bukan wanita.Syajar tidak sanggup menolak perintah khalifah tersebut,
akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan sultan pengganti dirinya yang
bernama Izzuddin Aybak agar dapat memerintah di belakang layar. Akan tetapi
segera setelah itu Aybak membunuh Syajar Ad-Dur dan mengambil sepenuhnya
kendali pemerintahan. Pada mulanya Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa
Ayyubiyah bernama Musa sebagai sultan syar’i (formalitas) di samping
dirinya sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, akhirnya Aybak juga mambunuh
Muasa. Ini merupakan akhir dari Dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari
kekuasaan Dinasti Mamalik.[11]
Aybak resmi menjadi sultan pertama Dinasti Mamluk Bahri. Ia berkuasa
selama tujuh tahun (1250-1257 M). Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya
Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M
dan digantikan oleh wakilnya, Qutuz. Setelah Qutuz naik tahta, Baybars yang
mengasingkan diri ke Syiria, karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak
kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260 M, Mesir terancam serangan bangsa Mongol
yang sudah berhasil menduduki hamper seluruh dunia Islam. Kedu tentara bertemu
di Ain Jalut pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah
pimpinan Qutuz dan Baybars berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut. Kemenangan
ini membuat Mamalik menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya.
Penguasa-penguasa Syiria segera menyatakan setia kepada penguasa Mamalik.[12]
Perang ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam dan merupakan
kemenangan pertama kaum muslimin atas orang-orang Mongolia. Mereka berhasil
menghancurkan mitos yang mengatakan bahwa tentara Mongol tidak pernah
terkalahkan.[13]
Pusat kekhalifahan Islam akhirnya
berada di Kairo setelah Baghdad luluh lantak oleh tentara Mongol. Setelah Qutuz
digulingkan oleh Baybars, kerajaan mamluk makin bertambah kuat. Bahkan, Baybars
mampu berkuasa selama tujuh belas tahun (657 H/1260 M- 676 H/ 1277 M) karena
mendapat dukungan militer, dan tidak ada lagi Mamluk senior selai Baybars.
Kejayaan yang diraih pada masa Baybars adalah memporak-porandakan tentara Salib
di sepanjang Laut Tengah dan Pegunungan Syiria. Ia juga menaklukkan daerah
Nubia (Sudan) dan sepanjang pantai Laut Merah. Prestasi Baybars yang lain
adalah menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir setelah Baghdad
dihancurkan oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258
M.[14]Baybar
juga meminta legalitas dari khalifah atas kekuasaannya, untuk mendapatkan
simpati rakyat Mesir sebagaimana Dinasti Ayyubiyah.
Prestasi Baybars dalam bidang agama, ia adalah sultan Mesir pertama yang
mengangkat empat orang hakim yang mewakili empat mazhab, ia juga mengatur
keberangkatan haji secara sistematis dan permanen. Ia juga dikenal sebagai
sultan yang shaleh dalam soal agama dan sungguh-sungguh dalam menjalankan
ibadah.[15]
Di bidang diplomatik, Baybars menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang
bershabat dan tidak membahayakan kekuasaannya. Ia memperbaharui hubungan Mesir
dengan Konstantinopel, serta membuka hubungan Mesir dengan Sisilia. Selain itu
ia juga menjalin ikatan perdamaian dan hubungan baik dengan Barke (Baraka) yang
merupakan keponakan dari Hulagu Khan yang telah masuk Islam dan berkuasa di
Golden Horde dan Kipchak (wilayah di bagian Barat kerajaan Mongol).[16]
Di bidang perekonomian dan perdagangan juga mengalami kemajuan pesat yang
membawa kepada kemakmuran. Jalur perdagangan yang sudah dibangun sejak Dinasti
Fathimiyah diperluas dengan membuka hubungan dagang dengan Italia dan Perancis.
Kota Kairo menjadi kota penting dan strategis sebagai jalur perdagangan Asia
Barat dan Laut Tengah dengan pihak Barat, dan menjadi lebih penting setelah
jatuhnya Baghdad. Baybars dan beberapa sultan setelahnya memberikan kebebasan
kepada petani untuk memasarkan hasil tani mereka. Hal ini mendorong mereka
untuk meningkatkan hasil pertaniannya, sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan
ekonomi Mesir. Bidang perhubungan darat dan laut juga menjadi lancer dengan
membuat terusan-terusan, pelabuhan, dan meng hubungkan Kairo dan damaskus
dengan layanan pos cepat. Pos cepat ini hanya memakan waktu empat hari dengan
menggunakan beberapa ekor kuda yang tersedia pada setiap stasiun di sepanjang
jalan. Selain pos dengan menggunakan kuda, juga ada pos cepat menggunakan
burung merpati yang sudah ada sejak zaman Fathimiyah.[17]
Pada masa ini, ilmu pengetahuan juga mengalami kemajuan pesat. Hal ini
disebabkan jatuhnya Baghdad yang mengakibatkan sebagian ahli ilmu pengetahuan
melarikan diri ke Mesir. Dengan demikian Mesir berperan sebagai pusat
pengembangan ilmu pengetahuan, melanjutkan perjuangan kota-kota Islam lainnya
setelah dihancurkan oleh orang-orang Mongol. Di antara cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang berkembang ketika itu adalah sejarah, kedokteran, matematika,
astronomi, dan ilmu agama.[18]
Di bidang sejarah tercatat nama-nama beberapa pakar, antara lain Ibnu
Khalikan, Ibnu Khaldun (penulis kitab al-‘Ibar), Abu Al-Fida’, Ibn Tagri Bardi
Atabaki, Al-Maqrizi yang terkenal sebagai seorang penulis sejarah kedokteran.
Bidang ilmu kedokteran juga mengalami kemajuan dengan adanya penemuan-penemuan
baru. Abu Hasan \Ali Nafis (w.1288) seorang kepala rumah sakit Kairo menemukan
susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, tiga abad lebih dahulu
dari Servetus (orang Portugis). Selain itu, juga terdapat tokoh-tokoh lain,
seperti Nasiruddin At-Tusi (1201-1274) seorang ahli observatorium, dan Abu
Faraj Tabari (1226-1286 M), ahli matematika.[19]
Di bidang seni arsitektur juga berkembang dengan baik. Para sultan
berlomba mendirikan bangunan-bangunan monumental yang berseni tinggi.
Bermunculanlah bangunan sekolah-sekolah, masjid-masjid yang indah dan megah.
Bangunan-bangunan tersebut ada yang masih bisa kita saksikan hingga saat ini,
seperti masjid Rifa’I dan masjid Sultan Hasan di Kairo. Mesjid ini sempat
dikunjungi presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, ketika kunjungannya ke
Mesir. Kita juga masih bisa saksikan salah satu bekas istana Mamalik di Maidan
Abbasiyah Kairo, Mesir.
Pemerintahan Mamluk selanjutnya dipimpin oleh Bani Bibarisiyah. Diawali
oleh Az-Zhahier Bibaris. Tapi tidak begitu banyak yang berarti kerajaan Mamluk
di bawah kekuasaan Bani Bibaris. Di antara sultan Bani Bibarisiyah adalah
Al-Mansur Qalawun (678 H-689 H/ 1280-1290 M) yang telah menyumbangkan jasanya
dalam pengembangan administrasi pemerintah, perluasan hubungan luar negeri
untuk memperkuat posisi Mesir dan Syam di jalur perdagangan internasional.
Sultan Mamluk yang memiliki kejayaan dan prestasi lainnya dari garis Bani
Qalawun adalah putra pengganti Qalawun, yaitu Nashir Muhammad (696 H/1296 M).[20]
Masa setelah Bani Qalawun, tampuk pemerintahan Mamluk Bahri dipimpin oleh
Mamluk keturunan Muhammad hingga Sembilan sultan. Sultan terakhir dari Dinasti
Mamluk berasal dari Bani Sya’baniyah, Al-Shalih Hajj Assyraf bin Sya’ban
sekitar tahun 791 H/1388 M. Ia digulingkan oleh sultan Barquq yang menjadi
cikal bakal sultan pertama pada pemerintahan Mamluk Burji.[21]
Di antara peristiwa penting pada masa ini (pasca Qalawun) adalah sebagai
berikut:[22]
- pada tahun 680 H/1281 M, Manshur Qalawun berhasil menghancurkan pasukan Tartar dengan sangat telak.
- pada tahun 702 H/1312 M, An-Nashir Muhammad bin Qalawun berhasil menaklukkan kepulauan Arwad dan mengusir orang-orang Salibis dari sana.
- pada tahun yang sama pasukan Tartar juga dikalahkan dengan sangat telak pada perang Syaqhat di dekat Damaskus, ikut dalam perang ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Secara turun-temurun, para sultan Mamluk Bahri seperti terlihat pada tabel
berikut ini.[23]
No
|
Nama
|
Masa Pemerintahan
|
Akhir Pemerintahan
|
1
|
Syajarat Durr
|
648 H/1250 M
|
Dibunuh
|
2
|
Izzuddin Aybak
|
648 H/1250 M
|
Dibunuh
|
3
|
Nuruddin ‘Ali
bin Aybak
|
655 H/1257 M
|
Dicopot
|
4
|
Saifuddin
Qutuz
|
657 H/1258 M
|
Dibunuh
|
5
|
Zhahir Bibaris
|
658 H/1259 M
|
Wafat
|
6
|
Sa’id Barkah
bin Bibaris
|
676 H/1277 M
|
Dicopot
|
7
|
‘Adil
Badruddin bin Bibaris
|
689 H/1290 M
|
Dicopot
|
8
|
Manshur
Qalawun
|
693 H/1294 M
|
Wafat
|
9
|
Asyraq Khalil
bin Qalawun
|
694 H/1294 M
|
Dibunuh
|
10
|
‘Adil
Katabagha
|
698 H/1298 M
|
-
|
11
|
Manshur Lajin
|
708 H/1208 M
|
Dibunuh
|
12
|
Nashir
Muhammad bin Qalawun
|
709 H/1309 M
|
Diganti
|
13
|
Mudzafar
Bibaris Abi Syakir
|
741 H/1340 M
|
Dibunuh
|
14
|
Nashir Muahmmad
bin Qalawun
|
742 H/1341 M
|
Wafat
|
15
|
Manshur Abu
Bakar bin Muhammad
|
742 H/1341 M
|
Dicopot
|
16
|
Asyraf Kazak
bin Muhammad
|
743 H/1342 M
|
Dicopot
|
17
|
Nashir Ahmad
bin Muhammad
|
746 H/1345 M
|
Dicopot
|
18
|
Shalih Ismail
bin Muhammad
|
747 H/1346 M
|
Wafat
|
19
|
Kamil Sya’ban
bin Muhammad
|
748 H/1347 M
|
Dibunuh
|
20
|
Muzhafar Amir
Hajj bin Muhammad
|
752 H/1351 M
|
Dibunuh
|
21
|
Nashir Hasan
bin Muhammad
|
755 H/1354 M
|
Dicopot
|
22
|
Shalih bin
Muhammad
|
762 H/1360 M
|
Dicopot
|
23
|
Nashir Hasan
bin Muhammad
|
764 H/1362 M
|
Dibunuh
|
24
|
Manshur
Muhammad bin Amir Hajj
|
778 H/1376 M
|
Dicopot
|
25
|
Asyraf Sya’ban
bin Hasan
|
783 H/1381 M
|
Dibunuh
|
26
|
Manshur ‘Ali
bin Sya’ban
|
791 H/1388 M
|
Wafat
|
27
|
Shalih Haj bin
Asyraf Sya’ban
|
1389M-1390 M
|
Dicopot
|
- Mamluk Burji (792-923 H./ 1389-1517 M.)
Masa pemerintahan Mamluk Burji diawali dengan berkuasanya sultan Barquq
(784-801 H/1382-1399 M) setelah berhasil menggulingkan sultan terakhir dari
Mamluk Bahri, Shalih Hajj bin Asyraf Sya’ban. Jika Baybars berhasil mengusir
Hulagu Khan yang mau menyerang Mesir, maka Barquq berhasil menahan Timur Lenk
dengan tentaranya untuk tidak memasuki wilayah Mesir tahun 1517, sehingga Mesir
selamat dari serangan Timur Lenk dan tentaranya yang kejam itu. Sesungguhnya
tidak ada perbedaan yang mendasar pada pemerintahan Mamluk Bahri dan Mamluk
Burji, baik dari status para sultan yang dimerdekakan ataupun dari segi sistem
pemerintahan.[24]
Pemerintahan selanjutnya dipimpin oleh sultan Al-Nashir Faraj (801-808
H/1399-1405 M), putra sultan Barquq dan merupakan salah seorang cucu Jengis
Khan yang telah masuk Islam dan berkuasa di wilayah Samarkand dan Khurasan.[25]
Banyak dari sultan-sultan Mamluk Burji naik tahta pada usia muda. Hal ini
menjadi salah satu faktor melemahnya dinasti Mamluk. Para Mamluk selalu
disibukkan dengan gejolak dan pertentangan yang terjadi.Dana kesultanan lebih
banyak dikeluarkan untuk aksi-aksi militer, sementara pemasukan semakin
menipis, sehingga pendidikan tidak begitu terperhatikan. Tekanan dari luar
wilayah Mamluk pun datang beruntun, karena Mamluk Burji tidak mengutamakan
persatuan dan banyak yang meminta bantuan luar. Sebagai contoh pada masa sultan
Asyraf Qaitbay (872-901 H), terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh para amir
Maluk di wilayah Syam dan Aleppo, dan gerakan pengacau keamanan di Selatan
Mesir. Pada masa pemerintahan ini, terjadi penyerangan dari pasukan Turki
Utsmani terhadap wilayah Mamluk yang merupakan cikal bakal permusuhan antara
Dinasti Mamluk dan tentara Turki Utsmani.[26]
Begitulah seterusnya para sultan Mamluk dilanda krisis dan perang, baik
dari dalam maupun dari pihak luar seperti tentara Turki Utsmani, dan Portugis
yang melarang dan mengusik jalur perdagangan di Laut Tengah, hingga tewasnya
sultan Qanshus Al-Guri ketika berperang melawan Turki Utsmani pada tahun 922
H/1516 M. Sejak itu Dinasti Mamluk berada di bawah bayang-bayang tentara Turki
Utsmani.[27]
Keadaan seperti inilah yang menyebabkan Mamluk Burji tidak bisa membuat
kemajuan seperti yang telah dicapai oleh Dinasti mamluk Bahri.
Sultan terakhir Dinasti Mamluk Burji adalah Asyraf Tumanbai. Ia adalah
seorang pejuang yang gigih, namun pada saat itu ia tidak mendapatkan dukungan
dari golongan Mamluk, sehingga ia harus menghadapi sendiri pasukan Turki
Utsmani yang telah berhasil menguasai khalifah Abbasiyah, Al-Mutawakkil.
Akhirnya Tumanbai ditangkap oleh pasukan Turki Utsmani atas bantuan beberapa
amir Mamluk dan kemudian digantung di salah satu gerbang kota Kairo, Bab
Al-Zuwailah pada tahun 923 H/1517 M. Sejak saat itu, berakhirlah masa
pemerintahan Dinasti Mamluk[28]
Para Sultan Dinasti Mamluk Burji dapat dilihat pada table berikut:
No
|
Nama Sultan
|
Masa
Pemerintahan
|
Akhir pemerintahan
|
1
|
Az-Zhahir
Barquq
|
792 H/1389 M
|
Wafat
|
2
|
An-Nashir Farj
bin Barquq
|
801 H/1398 M
|
Dicopot
|
3
|
Al-Manshur
Abdul Aziz bin Barquq
|
Tiga bulan
|
Dicopot
|
4
|
An-Nashir Farj
(kedua kali)
|
808 H/1405 M
|
Dibunuh
|
5
|
Al-Muayyid
Syaikh
|
815 H/1412 M
|
Wafat
|
6
|
Al-Muzaffar
Ahmad Ibn Al-Muayyid
|
Beberapa
bulan
|
Dicopot
|
7
|
Az-Zhair
Thutar
|
Beberapa
Bulan
|
Wafat
|
8
|
Ash-Shalih
Muhammad bin Thutar
|
Beberapa
Bulan
|
Dicopot
|
9
|
Al-Asyraf
Barsibai
|
825 H/1421 M
|
Wafat
|
10
|
Al-Aziz Yusuf
bin Barsibai
|
Beberapa
bulan
|
Dicopot
|
11
|
Az-Zhahir
Jaqman
|
842 H/1438
|
Wafat
|
12
|
Al-Manshur
Utsman bin Jaqman
|
Beberapa
bulan
|
Dicopot
|
13
|
Al-Asyraf Inal
|
857 H/1453 M
|
Wafat
|
14
|
Al-Muayyid
Ahmad bin Inal
|
Beberapa
bulan
|
Dicopot
|
15
|
Az-Zhahir
Kasyqadam
|
865 H/1460 M
|
Wafat
|
16
|
Az-Zhahit
Balba
|
Dua Bulan
|
Dicopot
|
17
|
AZ-Zhahir
Tamrigha
|
Dua Bulan
|
Dicopot
|
18
|
Khairbeik
|
Satu Malam
|
Dicopot
|
19
|
Al-Asyraf
Qaytabai
|
872 H/1467 M
|
Wafat
|
20
|
An-Nashir
Muhammad bin Qaytabi
|
901 H/1495 M
|
Dicopot
|
21
|
Qanshuh
|
902 H/1495 M
|
Dibunuh
|
22
|
An-Nashir
Muhammad (dua kali)
|
903 H/1497 M
|
Dibunuh
|
23
|
Az-Zhahir
Qanshuh
|
904 H/1498 M
|
Dicopot
|
24
|
Janbalah
|
905 H/1499 M
|
Dibunuh
|
25
|
Al-‘Adil
Tumanbai I
|
Beberapa
bulan
|
Dibunuh
|
26
|
Al-Asyraf
Qanshuh Al-Ghauri
|
906 H/1500 M
|
Dibunuh
|
27
|
Tumanbai II
|
922-923
H/1516-1517 M
|
Dibunuh
|
- Runtuhnya Dinasti Mamluk (Burji)
Kehancuran pemerintahan Mamluk, baik Bahri maupun Burji pada dasarnya
berasal dari internal istana sendiri. Meskipun faktor luar cukup memberikan
pengaruh terhadap kehancuran Mamluk sebagai faktor eksternal.
Gaya hidup yang tinggi diperlihatkan oleh sultan Nashir selama ia
memerintah. Misalnya, ketika Nashir mengadakan pesta perkawinan anaknya, ia
menyajikan 18.000 irisan roti, menyemblih 20.000 ekor ternak, dan menyalakan
3.000 batang lilin untuk menerangi istananya. Selain itu, Nashir suka
mengeluarkan uang untuk kesenangann pribadinya, seperti kesenangannya berolah
raga kuda. Ia sanggup mengeluarkan 30.000 Dinar demi seekor kuda yang ia
senangi. Gaya hidup yang tinggi pada masa Nshir dibebankan kepada rakyat,
sehingga rakyat harus membayar pajak yang lebih tingggi. Akibatnya hasil
produksi rakyat menurun. Hal ini menjadi salah satu sebab runtuhnya Dinasti
Mamluk.[29]
Secara internal, sebagai temuan Ibn Al-Taghri Birdi yang dikutip K.Hitti
menjelaskan bahwa: “Faktor kehancuran Mamluk Burji tampak terlihat dari para
sultan dan pegawainya yang berprilaku buruk, seperti tipu daya, pembunuhan, dan
pembantaian. Sebagian sultan melakukan tindakan kejam, curang, dan kebanyakan dari
mereka tidak beradab.” Begitu pula dalam tulisan Suyuthi, bahwa: “Hanya sultan
Barquq dari begitu banyak sultan yang mempunyai ayah seorang Muslim.”[30]
Korupsi dan monopoli ekonomi dilakukan oleh para sultan dalam mengelola
pembangunan. Seperti sultan Barsibai, sebelum harga naik, ia memonopoli
persediaan rempah yang ada, kemudian menjualnya dengan harga yang sangat
tinggi. Dia juga memonopoli produksi gula, dan melangkah lebih jauh dengan
melarang tanaman tebu selama satu periode dengan tujuan mendapatkan keuntungan
yang sangat bear baginya.[31]
Secara eksternal, kalangan Mamluk Burji lebih tidak peduli dengan urusan
luar negerinya, mereka lebih tertarik untuk mengurusi persoalan domestic dalam
negeri. Kondisi ini terbaca oleh musuh-musuh lamanya, seperti tentara Mongol
yang berkeinginan untuk merebut kembali kekuasaan Dinasti Mamluk, ditambah
dengan pasukan Utsmani yang memperparah kehancuran Mamluk Burji.[32]
- Penutup
Demikianlah sederetan peristiwa dan
sejarah yang dapat penulis paparkan kepada kita semua, yang terjadi dari awal
berdirinya Dinasti Mamluk Bahri sampai berakhirnya di tangan Mamluk Burji. Mudah-mudahan
makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis dan pembaca semuanya. Penulis berharap
akan ada masukan-masukan untuk perbaikan makalah yang masih jauh dari sempurna
ini.
[1] Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan
Filsafat, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), cet. I. h. 337
[3] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), Ed. 1. h. 124
[4]
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
cet. I. h.235
[5]
Amany Burhanuddin Umar Lubis, Ensiklopedi Tematis, (Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002), h. 218
[6]
Dedi Supriyadi, op.cit., h. 236
[7]
Ibid.
[8]
Ibid.
[9]
Ibid, h. 236-237
[10]
Badri Yatim, op.cit. h. 125
[11]
Ibid.
[12]
Ibid.
[13]
Dedi Supriyadi, op.cit., h. 237
[14]
Ibid, h. 238
[15]
Dewan Redaksi, op.cit., h. 147
[16] Ibid.
[17]
Ibid, h. 148
[18]
Ibid.
[19]
Ibid.
[20]
Dedi Supriyadi, op.cit., h. 238
[21]
Ibid, h. 239
[22]
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, 2006), cet. IV, h.304
[23] Ahmad
Al-Usairy, op.cit.,
[24] Dedi
Supriyadi, op.cit., h. 241
[25]
Ibid, h. 242
[26]
Ibid, h. 243
[27] Ibid
[28] Ibid
[29]
Ibid, h. 246
[30] Ibid
[31]
Ibid, h. 247
[32]
Ibid