Kamis, 16 Mei 2013

PERADABAN ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN MAMLUK/MAMALIK DI MESIR



  1. Pendahuluan
Agama Islam adalah agama yang menganut azaz persamaan (equality) sesama manusia dan saling bertergantungan satu sama lainnya.Islam tidak membedakan antara manusia pria atau wanita, orang Arab atau orang non Arab (‘ajam), orang bangsawan atau rakyat jelata karna semuanya sama kedudukannya dimata Allah. Hal ini Allah nyatakan dalam firman-Nya dalam Q.S al-Hujurat ayat 13 : “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang pria dan wanita , dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal (rukun dan damai), sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”. Ayat ini memberikan pemahaman bahwa allah tidak memandang status siapa pun diatas dunia ini karena dengan adanya perbedaan itu menjadikan dirinya lebih dekat kepada allah karena adanya perbedaan mnenjadikan sebuah konsep ilmu dalam mengembangkan pola pikir dan jakrawala . Karena itu tidak mengherankan jika ada orang yang tadinya adalah budak, orang tawanan, dan setelah ia masuk Islam dan dibebaskan, dia akhirnya menjadi orang penting, bahkan ada yang menjadi panglima, dan raja-raja besar. Dalam sejarah Islam, raja-raja yang berasal dari budak ini disebut Mamalik, atau oleh literatur Barat Mamluk.[1]
Penulis akan membahas sebuah dinasti yang didirikan oleh kaum  mamluk. Dalam dunia Islam ada dua pemerintahan yang berhasil didirikan oleh kaum mamluk, yaitu Dinasti Mmluk di India (1206-1290) yang dibentuk oleh Qutbuddin Aybak, dan Dinasti Mamluk di Mesir (1250-1517).[2] Pada kesempatan ini penulis akan secara khusus membahas Dinasti Mamluk yang ada di Mesir. Kalau ada negeri Islam yang selamat dari kehancuran akibat serangan-serangan bangsa Mongol, baik serangan Hulagu Khan maupun serangan Timur Lenk, maka negeri itu adalah Mesir yang ketika itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk (Mamalik).[3]

  1. Asal Usul Dinasti Mamluk di Mesir.
Kata Mamluk adalah bentuk mufrad dari kata Mamalik dan Mamlukun yang berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar menjadi tentara dan pegawai pemerintah. Seorang Mamluk berasal dari ibu bapak yang merdeka, bukan dari budak atau hamba sahaya. Berbeda dengan ‘abd, yang dilahirkan oleh ibu bapak yang juga berstatus sebagai hamba yang kemudian dijual. Perbedaan lain adalah Mamluk biasanya berkulit putih, sedangkan ‘abd berkulit hitam.[4]  Sebagian Mamluk berasal dari Mesir, yaitu golongan budak yang dimiliki para sultan dan amir pada masa kesultanan Bani Ayyub. Para Mamluk Dinasti Ayyubiyah ini berasal dari Asia Kecil, Persia, Turkistan dan Asia Tengah. Mereka terdiri dari suku-suku bangsa Turki, Rusia, Kurdi, Syracuse dan bagian kecil dari bangsa Eropa.[5]
Dinasti Mamluk didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Para Mamluk ini ditempatkan pada kelompok  tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir, Al-Malik Al-Shaleh, mereka dijadikan tentara dan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa ini mereka mendapatkan hak-hak istimewa, baik dalam imbalan materil maupun dalam hal ketentaraan.[6]
Kerajaan Mamluk dibagi menjadi dua periode berdasarkan daerah asalnya. Golongan pertama disebut dengan Mamluk bahri. Golongan pertama ini berasal dari kawasan Kipchak (Rusia Selatan), Mongol, dan Kurdi. Mereka ditempatkan di Pulau Raudhah di Sungai Nil. Di sinilah mereka menjalani latihan militer dan pelajaran keagamaan. Karena penempatan mereka inilah mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri (budak lalut/air).[7]
Golongan kedua dinamakan Mamluk Burji, yang berasal dari etnik Syracuse di wilayah Kaukakus. Golongan kedua inilah yang berhasil bertahan untuk berkuasa pada Dinasti Mamluk.

  1. Mamluk Bahri (648-792 H/ 1250-1389 M)
Nama Mamluk Bahri dinisbatkan pada sebuah tempat yang disediakan oleh Sultan Malik Shaleh Najmuddin Ayyub kepada para Mamluk, tempat ini berada di sebuah pulau di tepi Sungai Nil, yaitu Pulau Raudhah. Pulau ini dilengkapi dengan senjata, pusat pendidikan, dan latihan militer. Sejak itu para Mamluk ini dikenal denga sebutan Al-Mamalik Al-Bahriyyah (para budak lautan).[8]
Salah satu yang merupakan keunikan dari sejarah pemerintahan Dinasti Mamluk ini adalah adanya ambisi untuk menjadi Sultan dari seorang Mamluk wanita yang bernama Syajar Ad-Dur. Dia adalah isteri Sultan Dinasti Ayyubiyah, Al-Shaleh Najmuddin Ayyub. Syajar Ad-Dur mengambil alih kekuasaansetelah suaminya meninggal dunia dalam pertempuran melawan pasukan Louis IX di Dimyath, Mesir. Putra mahkota Turansyah ketika itu sedang berada di Syam. Untuk menjaga agar semangat pasukan Islam, sang istri menyembunyikan berita kematian suaminya. Setelah Turansyah tiba di Mesir untuk berkuasa, ia dibunuh oleh pengikut Syajar Ad-Dur. Kepemimpinan Syajar Ad-Dur ini berlangsung selama 80 hari.[9]
Dalam sumber lain dikatakan bahwa setelah Al-Malik Shaleh meninggal (1249 M), anaknya Turansyah naik tahta sebagai Sultan. Golongan mamalik merasa terancam karena turansyah lebih dekat dengan tentara asal Kurdi. Akhirnya, pada tahun 1250 M, Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah. Setelah kejadian ini Syajar Ad-Dur yang juga berasal dari kaum Mamluk mengambil alih kekuasaan.Kekuasaannya berlangsung lebih kurang selama tiga bulan.[10]
Kekuasaan Syajar Ad-Dur ini berakhir dengan adanya teguran dari Khalifah Abbasiyah di Baghdad, bahwa yang memerintah itu seharusnya adalah seorang pria dan bukan wanita.Syajar tidak sanggup menolak perintah khalifah tersebut, akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan sultan pengganti dirinya yang bernama Izzuddin Aybak agar dapat memerintah di belakang layar. Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajar Ad-Dur dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai sultan syar’i (formalitas) di samping dirinya sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, akhirnya Aybak juga mambunuh Muasa. Ini merupakan akhir dari Dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan Dinasti Mamalik.[11]
Aybak resmi menjadi sultan pertama Dinasti Mamluk Bahri. Ia berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257 M). Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan oleh wakilnya, Qutuz. Setelah Qutuz naik tahta, Baybars yang mengasingkan diri ke Syiria, karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260 M, Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hamper seluruh dunia Islam. Kedu tentara bertemu di Ain Jalut pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz dan Baybars berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut. Kemenangan ini membuat Mamalik menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa-penguasa Syiria segera menyatakan setia kepada penguasa Mamalik.[12]
Perang ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam dan merupakan kemenangan pertama kaum muslimin atas orang-orang Mongolia. Mereka berhasil menghancurkan mitos yang mengatakan bahwa tentara Mongol tidak pernah terkalahkan.[13]
 Pusat kekhalifahan Islam akhirnya berada di Kairo setelah Baghdad luluh lantak oleh tentara Mongol. Setelah Qutuz digulingkan oleh Baybars, kerajaan mamluk makin bertambah kuat. Bahkan, Baybars mampu berkuasa selama tujuh belas tahun (657 H/1260 M- 676 H/ 1277 M) karena mendapat dukungan militer, dan tidak ada lagi Mamluk senior selai Baybars. Kejayaan yang diraih pada masa Baybars adalah memporak-porandakan tentara Salib di sepanjang Laut Tengah dan Pegunungan Syiria. Ia juga menaklukkan daerah Nubia (Sudan) dan sepanjang pantai Laut Merah. Prestasi Baybars yang lain adalah menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir setelah Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258 M.[14]Baybar juga meminta legalitas dari khalifah atas kekuasaannya, untuk mendapatkan simpati rakyat Mesir sebagaimana Dinasti Ayyubiyah.
Prestasi Baybars dalam bidang agama, ia adalah sultan Mesir pertama yang mengangkat empat orang hakim yang mewakili empat mazhab, ia juga mengatur keberangkatan haji secara sistematis dan permanen. Ia juga dikenal sebagai sultan yang shaleh dalam soal agama dan sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah.[15]
Di bidang diplomatik, Baybars menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang bershabat dan tidak membahayakan kekuasaannya. Ia memperbaharui hubungan Mesir dengan Konstantinopel, serta membuka hubungan Mesir dengan Sisilia. Selain itu ia juga menjalin ikatan perdamaian dan hubungan baik dengan Barke (Baraka) yang merupakan keponakan dari Hulagu Khan yang telah masuk Islam dan berkuasa di Golden Horde dan Kipchak (wilayah di bagian Barat kerajaan Mongol).[16]
Di bidang perekonomian dan perdagangan juga mengalami kemajuan pesat yang membawa kepada kemakmuran. Jalur perdagangan yang sudah dibangun sejak Dinasti Fathimiyah diperluas dengan membuka hubungan dagang dengan Italia dan Perancis. Kota Kairo menjadi kota penting dan strategis sebagai jalur perdagangan Asia Barat dan Laut Tengah dengan pihak Barat, dan menjadi lebih penting setelah jatuhnya Baghdad. Baybars dan beberapa sultan setelahnya memberikan kebebasan kepada petani untuk memasarkan hasil tani mereka. Hal ini mendorong mereka untuk meningkatkan hasil pertaniannya, sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi Mesir. Bidang perhubungan darat dan laut juga menjadi lancer dengan membuat terusan-terusan, pelabuhan, dan meng hubungkan Kairo dan damaskus dengan layanan pos cepat. Pos cepat ini hanya memakan waktu empat hari dengan menggunakan beberapa ekor kuda yang tersedia pada setiap stasiun di sepanjang jalan. Selain pos dengan menggunakan kuda, juga ada pos cepat menggunakan burung merpati yang sudah ada sejak zaman Fathimiyah.[17]
Pada masa ini, ilmu pengetahuan juga mengalami kemajuan pesat. Hal ini disebabkan jatuhnya Baghdad yang mengakibatkan sebagian ahli ilmu pengetahuan melarikan diri ke Mesir. Dengan demikian Mesir berperan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, melanjutkan perjuangan kota-kota Islam lainnya setelah dihancurkan oleh orang-orang Mongol. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berkembang ketika itu adalah sejarah, kedokteran, matematika, astronomi, dan ilmu agama.[18]
Di bidang sejarah tercatat nama-nama beberapa pakar, antara lain Ibnu Khalikan, Ibnu Khaldun (penulis kitab al-‘Ibar), Abu Al-Fida’, Ibn Tagri Bardi Atabaki, Al-Maqrizi yang terkenal sebagai seorang penulis sejarah kedokteran.
Bidang ilmu kedokteran juga mengalami kemajuan dengan adanya penemuan-penemuan baru. Abu Hasan \Ali Nafis (w.1288) seorang kepala rumah sakit Kairo menemukan susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, tiga abad lebih dahulu dari Servetus (orang Portugis). Selain itu, juga terdapat tokoh-tokoh lain, seperti Nasiruddin At-Tusi (1201-1274) seorang ahli observatorium, dan Abu Faraj Tabari (1226-1286 M), ahli matematika.[19]
Di bidang seni arsitektur juga berkembang dengan baik. Para sultan berlomba mendirikan bangunan-bangunan monumental yang berseni tinggi. Bermunculanlah bangunan sekolah-sekolah, masjid-masjid yang indah dan megah. Bangunan-bangunan tersebut ada yang masih bisa kita saksikan hingga saat ini, seperti masjid Rifa’I dan masjid Sultan Hasan di Kairo. Mesjid ini sempat dikunjungi presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, ketika kunjungannya ke Mesir. Kita juga masih bisa saksikan salah satu bekas istana Mamalik di Maidan Abbasiyah Kairo, Mesir.
Pemerintahan Mamluk selanjutnya dipimpin oleh Bani Bibarisiyah. Diawali oleh Az-Zhahier Bibaris. Tapi tidak begitu banyak yang berarti kerajaan Mamluk di bawah kekuasaan Bani Bibaris. Di antara sultan Bani Bibarisiyah adalah Al-Mansur Qalawun (678 H-689 H/ 1280-1290 M) yang telah menyumbangkan jasanya dalam pengembangan administrasi pemerintah, perluasan hubungan luar negeri untuk memperkuat posisi Mesir dan Syam di jalur perdagangan internasional. Sultan Mamluk yang memiliki kejayaan dan prestasi lainnya dari garis Bani Qalawun adalah putra pengganti Qalawun, yaitu Nashir Muhammad (696 H/1296 M).[20]
Masa setelah Bani Qalawun, tampuk pemerintahan Mamluk Bahri dipimpin oleh Mamluk keturunan Muhammad hingga Sembilan sultan. Sultan terakhir dari Dinasti Mamluk berasal dari Bani Sya’baniyah, Al-Shalih Hajj Assyraf bin Sya’ban sekitar tahun 791 H/1388 M. Ia digulingkan oleh sultan Barquq yang menjadi cikal bakal sultan pertama pada pemerintahan Mamluk Burji.[21]
Di antara peristiwa penting pada masa ini (pasca Qalawun) adalah sebagai berikut:[22]
  1. pada tahun 680 H/1281 M, Manshur Qalawun berhasil menghancurkan pasukan Tartar dengan sangat telak.
  2. pada tahun 702 H/1312 M, An-Nashir Muhammad bin Qalawun berhasil menaklukkan kepulauan Arwad dan mengusir orang-orang Salibis dari sana.
  3. pada tahun yang sama pasukan Tartar juga dikalahkan dengan sangat telak pada perang Syaqhat di dekat Damaskus, ikut dalam perang ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Secara turun-temurun, para sultan Mamluk Bahri seperti terlihat pada tabel berikut ini.[23]
No
Nama
Masa Pemerintahan
Akhir Pemerintahan
1
Syajarat Durr
648 H/1250 M
Dibunuh
2
Izzuddin Aybak
648 H/1250 M
Dibunuh
3
Nuruddin ‘Ali bin Aybak
655 H/1257 M
Dicopot
4
Saifuddin Qutuz
657 H/1258 M
Dibunuh
5
Zhahir Bibaris
658 H/1259 M
Wafat
6
Sa’id Barkah bin Bibaris
676 H/1277 M
Dicopot
7
‘Adil Badruddin bin Bibaris
689 H/1290 M
Dicopot
8
Manshur Qalawun
693 H/1294 M
Wafat
9
Asyraq Khalil bin Qalawun
694 H/1294 M
Dibunuh
10
‘Adil Katabagha
698 H/1298 M
-
11
Manshur Lajin
708 H/1208 M
Dibunuh
12
Nashir Muhammad bin Qalawun
709 H/1309 M
Diganti
13
Mudzafar Bibaris Abi Syakir
741 H/1340 M
Dibunuh
14
Nashir Muahmmad bin Qalawun
742 H/1341 M
Wafat
15
Manshur Abu Bakar bin Muhammad
742 H/1341 M
Dicopot
16
Asyraf Kazak bin Muhammad
743 H/1342 M
Dicopot
17
Nashir Ahmad bin Muhammad
746 H/1345 M
Dicopot
18
Shalih Ismail bin Muhammad
747 H/1346 M
Wafat
19
Kamil Sya’ban bin Muhammad
748 H/1347 M
Dibunuh
20
Muzhafar Amir Hajj bin Muhammad
752 H/1351 M
Dibunuh
21
Nashir Hasan bin Muhammad
755 H/1354 M
Dicopot
22
Shalih bin Muhammad
762 H/1360 M
Dicopot
23
Nashir Hasan bin Muhammad
764 H/1362 M
Dibunuh
24
Manshur Muhammad bin Amir Hajj
778 H/1376 M
Dicopot
25
Asyraf Sya’ban bin Hasan
783 H/1381 M
Dibunuh
26
Manshur ‘Ali bin Sya’ban
791 H/1388 M
Wafat
27
Shalih Haj bin Asyraf Sya’ban
1389M-1390 M
Dicopot





  1. Mamluk Burji (792-923 H./ 1389-1517 M.)
Masa pemerintahan Mamluk Burji diawali dengan berkuasanya sultan Barquq (784-801 H/1382-1399 M) setelah berhasil menggulingkan sultan terakhir dari Mamluk Bahri, Shalih Hajj bin Asyraf Sya’ban. Jika Baybars berhasil mengusir Hulagu Khan yang mau menyerang Mesir, maka Barquq berhasil menahan Timur Lenk dengan tentaranya untuk tidak memasuki wilayah Mesir tahun 1517, sehingga Mesir selamat dari serangan Timur Lenk dan tentaranya yang kejam itu. Sesungguhnya tidak ada perbedaan yang mendasar pada pemerintahan Mamluk Bahri dan Mamluk Burji, baik dari status para sultan yang dimerdekakan ataupun dari segi sistem pemerintahan.[24]
Pemerintahan selanjutnya dipimpin oleh sultan Al-Nashir Faraj (801-808 H/1399-1405 M), putra sultan Barquq dan merupakan salah seorang cucu Jengis Khan yang telah masuk Islam dan berkuasa di wilayah Samarkand dan Khurasan.[25]
Banyak dari sultan-sultan Mamluk Burji naik tahta pada usia muda. Hal ini menjadi salah satu faktor melemahnya dinasti Mamluk. Para Mamluk selalu disibukkan dengan gejolak dan pertentangan yang terjadi.Dana kesultanan lebih banyak dikeluarkan untuk aksi-aksi militer, sementara pemasukan semakin menipis, sehingga pendidikan tidak begitu terperhatikan. Tekanan dari luar wilayah Mamluk pun datang beruntun, karena Mamluk Burji tidak mengutamakan persatuan dan banyak yang meminta bantuan luar. Sebagai contoh pada masa sultan Asyraf Qaitbay (872-901 H), terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh para amir Maluk di wilayah Syam dan Aleppo, dan gerakan pengacau keamanan di Selatan Mesir. Pada masa pemerintahan ini, terjadi penyerangan dari pasukan Turki Utsmani terhadap wilayah Mamluk yang merupakan cikal bakal permusuhan antara Dinasti Mamluk dan tentara Turki Utsmani.[26]
Begitulah seterusnya para sultan Mamluk dilanda krisis dan perang, baik dari dalam maupun dari pihak luar seperti tentara Turki Utsmani, dan Portugis yang melarang dan mengusik jalur perdagangan di Laut Tengah, hingga tewasnya sultan Qanshus Al-Guri ketika berperang melawan Turki Utsmani pada tahun 922 H/1516 M. Sejak itu Dinasti Mamluk berada di bawah bayang-bayang tentara Turki Utsmani.[27] Keadaan seperti inilah yang menyebabkan Mamluk Burji tidak bisa membuat kemajuan seperti yang telah dicapai oleh Dinasti mamluk Bahri.
Sultan terakhir Dinasti Mamluk Burji adalah Asyraf Tumanbai. Ia adalah seorang pejuang yang gigih, namun pada saat itu ia tidak mendapatkan dukungan dari golongan Mamluk, sehingga ia harus menghadapi sendiri pasukan Turki Utsmani yang telah berhasil menguasai khalifah Abbasiyah, Al-Mutawakkil. Akhirnya Tumanbai ditangkap oleh pasukan Turki Utsmani atas bantuan beberapa amir Mamluk dan kemudian digantung di salah satu gerbang kota Kairo, Bab Al-Zuwailah pada tahun 923 H/1517 M. Sejak saat itu, berakhirlah masa pemerintahan Dinasti Mamluk[28]
Para Sultan Dinasti Mamluk Burji dapat dilihat pada table berikut:
No
Nama Sultan
Masa
Pemerintahan
Akhir pemerintahan
1
Az-Zhahir Barquq
792 H/1389 M
Wafat
2
An-Nashir Farj bin Barquq
801 H/1398 M
Dicopot
3
Al-Manshur Abdul Aziz bin Barquq
Tiga bulan
Dicopot
4
An-Nashir Farj (kedua kali)
808 H/1405 M
Dibunuh
5
Al-Muayyid Syaikh
815 H/1412 M
Wafat
6
Al-Muzaffar Ahmad Ibn Al-Muayyid
Beberapa bulan
Dicopot
7
Az-Zhair Thutar
Beberapa Bulan
Wafat
8
Ash-Shalih Muhammad bin Thutar
Beberapa Bulan
Dicopot
9
Al-Asyraf Barsibai
825 H/1421 M
Wafat
10
Al-Aziz Yusuf bin Barsibai
Beberapa bulan
Dicopot
11
Az-Zhahir Jaqman
842 H/1438
Wafat
12
Al-Manshur Utsman bin Jaqman
Beberapa bulan
Dicopot
13
Al-Asyraf Inal
857 H/1453 M
Wafat
14
Al-Muayyid Ahmad bin Inal
Beberapa bulan
Dicopot
15
Az-Zhahir Kasyqadam
865 H/1460 M
Wafat
16
Az-Zhahit Balba
Dua Bulan
Dicopot
17
AZ-Zhahir Tamrigha
Dua Bulan
Dicopot
18
Khairbeik
Satu Malam
Dicopot
19
Al-Asyraf Qaytabai
872 H/1467 M
Wafat
20
An-Nashir Muhammad bin Qaytabi
901 H/1495 M
Dicopot
21
Qanshuh
902 H/1495 M
Dibunuh
22
An-Nashir Muhammad (dua kali)
903 H/1497 M
Dibunuh
23
Az-Zhahir Qanshuh
904 H/1498 M
Dicopot
24
Janbalah
905 H/1499 M
Dibunuh
25
Al-‘Adil Tumanbai I
Beberapa bulan
Dibunuh
26
Al-Asyraf Qanshuh Al-Ghauri
906 H/1500 M
Dibunuh
27
Tumanbai II
922-923 H/1516-1517 M
Dibunuh

  1. Runtuhnya Dinasti Mamluk (Burji)
Kehancuran pemerintahan Mamluk, baik Bahri maupun Burji pada dasarnya berasal dari internal istana sendiri. Meskipun faktor luar cukup memberikan pengaruh terhadap kehancuran Mamluk sebagai faktor eksternal.
Gaya hidup yang tinggi diperlihatkan oleh sultan Nashir selama ia memerintah. Misalnya, ketika Nashir mengadakan pesta perkawinan anaknya, ia menyajikan 18.000 irisan roti, menyemblih 20.000 ekor ternak, dan menyalakan 3.000 batang lilin untuk menerangi istananya. Selain itu, Nashir suka mengeluarkan uang untuk kesenangann pribadinya, seperti kesenangannya berolah raga kuda. Ia sanggup mengeluarkan 30.000 Dinar demi seekor kuda yang ia senangi. Gaya hidup yang tinggi pada masa Nshir dibebankan kepada rakyat, sehingga rakyat harus membayar pajak yang lebih tingggi. Akibatnya hasil produksi rakyat menurun. Hal ini menjadi salah satu sebab runtuhnya Dinasti Mamluk.[29]
Secara internal, sebagai temuan Ibn Al-Taghri Birdi yang dikutip K.Hitti menjelaskan bahwa: “Faktor kehancuran Mamluk Burji tampak terlihat dari para sultan dan pegawainya yang berprilaku buruk, seperti tipu daya, pembunuhan, dan pembantaian. Sebagian sultan melakukan tindakan kejam, curang, dan kebanyakan dari mereka tidak beradab.” Begitu pula dalam tulisan Suyuthi, bahwa: “Hanya sultan Barquq dari begitu banyak sultan yang mempunyai ayah seorang Muslim.”[30]
Korupsi dan monopoli ekonomi dilakukan oleh para sultan dalam mengelola pembangunan. Seperti sultan Barsibai, sebelum harga naik, ia memonopoli persediaan rempah yang ada, kemudian menjualnya dengan harga yang sangat tinggi. Dia juga memonopoli produksi gula, dan melangkah lebih jauh dengan melarang tanaman tebu selama satu periode dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang sangat bear baginya.[31]
Secara eksternal, kalangan Mamluk Burji lebih tidak peduli dengan urusan luar negerinya, mereka lebih tertarik untuk mengurusi persoalan domestic dalam negeri. Kondisi ini terbaca oleh musuh-musuh lamanya, seperti tentara Mongol yang berkeinginan untuk merebut kembali kekuasaan Dinasti Mamluk, ditambah dengan pasukan Utsmani yang memperparah kehancuran Mamluk Burji.[32]

  1. Penutup
Demikianlah sederetan peristiwa dan sejarah yang dapat penulis paparkan kepada kita semua, yang terjadi dari awal berdirinya Dinasti Mamluk Bahri sampai berakhirnya di tangan Mamluk Burji. Mudah-mudahan makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis dan pembaca semuanya. Penulis berharap akan ada masukan-masukan untuk perbaikan makalah yang masih jauh dari sempurna ini.


[1]  Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), cet. I. h. 337
                [2] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), cet. II. h. 145   
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), Ed. 1. h. 124
[4] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet. I. h.235
[5] Amany Burhanuddin Umar Lubis, Ensiklopedi Tematis, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002),  h. 218
[6] Dedi Supriyadi, op.cit., h. 236
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid, h. 236-237
[10] Badri Yatim, op.cit. h. 125
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Dedi Supriyadi, op.cit., h. 237
[14] Ibid, h. 238
[15] Dewan Redaksi, op.cit., h. 147
[16] Ibid.
[17] Ibid, h. 148
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Dedi Supriyadi, op.cit., h. 238
[21] Ibid, h. 239
[22] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2006), cet. IV, h.304
[23] Ahmad Al-Usairy, op.cit.,
[24] Dedi Supriyadi, op.cit., h. 241
[25] Ibid, h. 242
[26] Ibid, h. 243
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] Ibid, h. 246
[30] Ibid
[31] Ibid, h. 247
[32] Ibid