Rabu, 15 Mei 2013

DINASTI SALJUK DAN KEMUNDURAN SERTA KEHANCURAN DAULAH ABBASIYAH




A.    Pendahuluan
Keruntuhan kekuasaan Abbasiyah sudah terlihat sejak awal abad ke-9. Fenomena ini muncul bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi yang membuat mereka benar-benar independent. Pada saat itu kekuatan militer Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang professional di bidang kemiliteran, khusunya bangsa Turki dengan sistem perbudakan baru. Pengangkatan anggota militer ini dalam perkembangan selanjutnya merupakan ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah.[1]
Kemajuan besar yang ditelah dicapai oleh dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Setiap khalifah cendrung ingin lebih mewah dari para pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kondisi inilah yang memberi peluang para tentara profesional asal Turki yang telah diangkat pada masa kekhalifahan al-Mu’tasim untuk mengambil alih tampuk pemerintahan. Usaha ini berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada pada tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari 400 tahun.
Pada awal pemerintahan Abbasiyah, sudah muncul fanastisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah (kebangsaan / anti Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak sungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Pada akhirnya konflik kebangsaan dan keagamaan ini  menyebabkan dinasti Abbasiyah pecah dan banyak wilayah-wilayah bagian yang melepaskan diri dari kekuasaan dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Diantara wilayah-wilayah yang melepaskan diri adalah yang berbangsa Persia seperti Thahiriyah di Khurasan, Syafariyah di Fars, Samaniyah di Transoxania, dll. Yang berbangsa Turki seperti Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan, Ghaznawiyah di Afganista dan Dinasti Saljuk.[2]
Dinasti Saljuk merupakan salah satu dinasti yang utama dari bangsa Turki dan banyak perkembangan signifikan yang terjadi pada masa pemerintahan dinsti Saljuk ini dan dalam makalah ini akan diuraikan sejarah peradaban Islam pada masa dinasti Saljuk.

B.     Sejarah Pembentukan Dinasti Saljuk
Bangsa Turki Saljuk merupakan kelompok bangsa Turki yang berasal dari suku Ghuzz. Dinasti Saljuk dinisbatkan kepada nenek moyang mereka yang bernama Saljuk ibn Tukak (Dukak).[3] Ia merupakan salah seorang anggota suku Ghuzz yang berada di Klinik, dan akhirnya menjadi kepala suku Ghuzz yang dihormati dan dipatuhi perintahnya. Terdapat dua versi tentang terbentuknya komunitas Turki Saljuk, Ibn sl-Athir sebagaimana dikutip oleh Syafiq A. Mughni menyebutkan, ketika raja Turki yang bernama Beighu ingin menguasai wilayah kerajaan Islam, Tukak menentangnya dan akhirnya ia memisahkan diri dengan para pengikutnya dan membentuk suatu komunitas terpisah dari kerajaan.  Versi kedua adalah Saljuk ibn Tukak memisahkan diri dari kerajaan bersama para pengikutnya dan memasuki wilayah Islam dengan mendirikan pemukiman di dekat daerah Jand di mulut sungai Jaihun.[4]
Bangsa Turki Saljuk adalah pemeluk Islam yang militan. Masyarakat Turki Saljuk memeluk Islam diperkirakan jauh sebelum mereka memasuki daerah Jand, tetapi kemungkinan besar mereka memeluk agama Islam setelah terjadinya interaksi sosial dengan masyarakat Islam di Jand itu sendiri. Beberapa sarjana berkebangsaan Rusia mengatakan bahwa masyarakat Turki Saljuk memeluk Islam setelah mereka memeluk agama Kristen, dengan melihat nama anak-anak Saljuk yang memiliki kemiripan dengan nama-nama yang ada di dalam kitab Injil, yaitu Mikail, Musa, Israil, dan Yunus. Akan tetapi kemungkinan ini sulit diterima, terutama setelah melihat dan mempelajari tradisi yang ada pada mereka.[5] Perkembangan Dinasti Saljuk dibantu oleh situasi politik di wilayah Transoksania. Pada saat itu terjadi persaingan politik antara dinasti Samaniyah dengan dinasti Khaniyyah.[6] Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Saljuk menyatakan memerdekakan diri. Ia berhasil mengusai wilayah yang tadi dikusai oleh Samaniyyah.[7]
Setelah Saljuk bin Tukak meninggal, kepemimpinan bani Saljuk dipimpin oleh Israil ibn Saljuk yang juga dikenal dengan nama Arslan. Pada masa ini wilayah kekuasaan bani Saljuk sudah semakin luas hingga daerah Nur Bukhara (Nur Ata) dan sekitar Samarkhan. Setelah itu diteruskan oleh Mikail, sedangkan ketika itu dinasti Ghaznawiyah dipipin oleh sultan Mahmud. Kareana kelicikan penguasa Ghaznawiyah, kedua pemimpin dinasti Saljuk ini ditangkap dan dibunuh sehingga mengakibatkan lemahnya kekuasaan Saljuk.[8]
Pada periode berikutnya Saljuk dipimpin oleh Thugrul Bek. Ia berhasil mengalahkan Mahmud al-Ghaznawi, penguasa Ghaznawiyah pada tahun 429 H / 1036 M dan memaksanya meninggalkan daerah Khurasan, setelah keberhasilan tersebut, Thugrul memproklamirkan berdirinya dinasti Saljuk. Pada tahun 432 H / 1040 M dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Disaat kepemimpinan Thugrul Bek inilah, dinasti Saljuk memasuki Baghdad menggantikan dinasti Buwaihi. Sebelumnya Thugrul berhasil merebut daerah Marwa dan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawi, Balkh, Jurjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray dan Isfahan.[9] Pada tahun ini juga Thugrul Bek mendapat gelar dari khalifah Abbasiyah dengan Rukh al-Daulah Yamin Amir al-Muminin.
Imperium Saljuk dibagi menjadi beberapa cabang:
1.      Saljuk Agung
Setelah dipilih sebagai pemimpin imperium Saljuk, Thugril Bek merencanakan dua hal
a.    Melakukan konsolidasi kekuatan militer yang dianggap menentang kekuasaan saljuk
b.      Memperluas kekuasaan
Daerah kekuasaan Saljuk Agung meliputi Ray, Jabal, Irak, Persia dan Ahwaz. Setelah berhasil mengalahkan dinasti Ghaznawi dan menduduki singgasana kerajaan di Naisabur di bawah pimpinan Thugrul Bek saat itulah dia dianggap sebagai Dinasti Saljuk yang sebenarnya. Setelah menduduki jabatan sultan (1038 – 1063 M) dan secara resmi mendapat pengakuan dari kekhalifahan Abbasiyah. Selama memegang kekuasaan, Thugrul Bek menggalang persatuan yang kuat dengan saudara-saudaranya dengan memberikan kepada mereka wilayah kekuasaan tertentu. Pada tahun 1050 – 1051 M ia berhasil merebut Isfahan  dan menghancurkan kekuatan Daylamah di Persia. Kemenangan Thugrul Bek lebih gemilang ketika Hamadan pada tahun 1055 M dapat dikuasai.
Thugrul Bek herhasil memperluas wilayahnya dengan merebut Jurjan, Thabaristan, Rayy, Qazwin dan Zunian hingga menguasai hampir seluruh wilayah Iran, dan kemudian memindahkan ibukotanya ke Rayy.
Sementara bintang kaum Saljuk mulai terang, bintang Bani Buwaihi mula redup dan pudar. Keadaan-keadaan yang timbul semakin mempercepat lagi kaum Saljuk tiba di Baghdad. Pada waktu itu Baghdad mulai rusuh, kondisi politik mulai kacau, keamanan tidak stabil akibat terjadinya perebutan kekuasaan untuk jabatan amir al-umara. Malik ar-Rahim sebagai amir al-umara dari Bani Buwaihi saat itu dikhianati oleh panglimanya sendiri Arselan al-Basasiri (keturunan Turki). Panglima Turki ini telah memberontak menentang rajanya dan khalifah Abbasiyah, Serta mencoba berkuasa penuh.[10] Al-Basasiri mencoba menjalin berbagai persekutuan, dan dari waktu ke waktu dia berada pada posisi yang kuat. Tindakannya yang paling penting ialah menyatakan tunduk kepada khalifah Fatimiyah di Mesir untuk menggulingkan khalifah al-Qaim, dan sebagai imbalannya menerima sejumlah uang.[11]
Al-Basasiri pernah berhasil menguasai Baghdad dan memaksa khalifah menandatangani dokumen yang menyatakan dirinya turun tahta serta tidak adanya hak bagi Dinasti Abbasiyah atasnya, dan menyerahkannya kepada khalifah Fatimiyah al-Muntansir. Ia juga diharuskan mengirimkan lambang kekhalifahan, termasuk mantel dan peninggalan-peninggalan suci lainnya. Al-Basasiri menguasai istana selama lebih kurang satu tahun. Untuk menghadapi permasalahan ini khalifah al-Qaim meminta pertolongan Thugrul Bek, pemimpin Saljuk dan Thugrul Bek mengambil kesempatan yang baik ini untuk memimpin bala tentaranya masuk ke Baghdad pada tahun 1055 M. Pasukan Bani Saljuk berhasil mengusir al-Basasiri dan kursi kekhalifahan diserahkan kembali kepada al-Qaim, Kemudian al-Qaim memberi gelar Yamin Amirul Mukminin serta meletakkan raja Malik ar-Rahim di bawah kekuasaannya, bahkan kemudian putri khalifah di nikahi oleh Thugrul Bek dan diboyongnya ke Rayy. Thugrul Bek dengan segera menangkap raja Malik ar-Rahim dan memenjarakannya sebagai tawanan di Rayy sampai wafat pada tahun 1058 M  dan akhirnya Bani Saljuk bisa menguasai Baghdad.
Setahun kemudian Thugrul Bek meninggal dunia tepatnya pada tanggal 8 Ramadhan 455 H/ 1062 M dan kursi kekuasaannya digantikan oleh Alp-Arselan (455-465 H/ 1063-1072 M), kemenakannya yang tertua karena Thugrul Bek tidak mempunyai anak laki-laki.
Setelah menjadi sultan Saljuk, Alp-Arselan mencoba melakukan konsolidasi dan ekspansi wilayah kekuatan politik Saljuk . Ia menjadikan kota Rayy sebagai ibu kota kesultanan Saljuk, sebagaimana pada masa pemerintahan Thugrul Bek. Alp-Arselan melakukan ekspedisi militer ke wilayah Transoksania untuk mengkonsolidasi wilayah tersebut dan berusaha memisahkan diri dibawah pimpinan Musa Beghu, pamannya sendiri. Setelah melakukan konsolidasi internal kekuasaan Saljuk dengan menundukkan Musa Beghu dan Quthlumisy ibn Chaghri Bek, ia mulai melakukan ekspansi ke wilayah di luar wilayah Islam, sehingga banyak penaklukan pada masanya dinyatakan sebagai jihad fi-sabilillah untuk meninggikan bendera Islam.
Dalam melancarkan misi politiknya dalam rangka ekspansi wilayah alp-Arselan menjadikan silaturrahmi dalam bentuk perkawinan. Ia mengawinkan putranya Malik Syah dengan putri Tumghaj Khan, penguasa kerajaan Khanniyah dan putranya yang lain dengan putri Ibrahim al-Ghaznawi. Hal ini dilakukannya untuk menambah kekuatannya menghadapi kekuatan Romawi.
Konfrontasi antara Saljuk dengan Romawi terjadi pada bulan Agustus 1071 M di Manzikart. Pada pertempuran itu dimenangkan oleh tentara Saljuk, maka dipandanglah Dinasti Saljuk sebagai dinasti pertama yang memperoleh kekuasaan permanen kekaisaran Romawi. Dengan kemenangan itu Ramailus Diogenus (pemimmpin pasukan Byzantium) selama 50 tahun harus membayar jizyah kepada kesultanan Saljuk. Tujuan alp-Arselan menjalin hubungan dengan Byzantium agar Saljuk lebih mudah mengembangkan kekuatan politiknya dan meraih program besar, yaitu menyatukan dunia Islam ke dalam khilafah Islam Sunni.[12]
Pada akhir masa pemerintahan Alp-Arselan, hubungan kesultanan Saljuk dengan kesultanan Ghaznawi mulai memburuk karena kematian Tumghaj Khan. Anak Tumghaj, Syams al-Din Nashir berkeinginan menakhlukkan kesultanan Saljuk. Pada pemberontakan tersebut Alp-Arselan terbunuh dan kedudukannya sebagai Sultan Saljuk digantikan oleh anaknya Malik Syah.
Malik Syah (1072-1092 M) naik tahta menggantikan ayahnya dan ia dibantu oleh wazir Nidham al-Mulk yang sudah berhubungan dengan ayahnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur Khurasan. Pada awalnya ia menjadikan Nisapur sebagai ibukota Saljuk, tetapi kemudian memindahkannya ke Rayy, ibukota yang lama. Setelah ia naik tahta, ia melakukan tiga hal: pertama, melakukan sentralisasi kekuasaan politik, kedua, menjaga wilayah yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya, dan ketiga, memperluas wilayah politik kesultanan Saljuk ke hampir seluruh wilayah Islam.
Selama pemerintahan Malik Syah perbatasan timur kemaharajaan berhasil dipertahankan bahkan diperluas: yaitu para penguasa lokal di daerah-daerah ini dipaksa mengakui keunggulan Malik Syah dan mengirimkan upeti. Setelah beberapa waktu berlalu hubungan antara Malik Syah, dengan Nidham al-Mulk memburuk dan puncaknya adalah terbunuhnya Nidham al-Mulk. Tidak lama setelah kematian wazir Nidham al-Mulk, pada tanggal 15 Syawal 485 H / 1092 M, sultan Malik Syah juga wafat. Posisi Malik Syah, digantikan oleh putra tertuanya Rukn al-Din Barqyaruk.

2.      Saljuk Irak (1118 – 10924 M)
Setelah wafatnya Malik Syah pada tahun 1117 M, mulailah muncul perpecahan diantara kerabat Saljuk. Perpecahan tersebut ditandai dengan munculnya kesultan kecil di wilayah Saljuk Raya dan berusaha memisahkan diri dari kekuasaan Saljuk Raya di Iran. Di wilayah Irak Mahmud adalah penguasa pertama kali memisahkan diri. Ia melepaskan diri dari kekuasaan pamannya, sultan Sanjar, melalui pertempuran. Pemisahan wilayah Irak secara independen dari kekuasaan Saljuk Raya akhirya dipenuhi dengan menjadikan Mahmud sebagai waliy al-ahd untuk wilayah yang sama, dengan gelar sultan di depan namanya. Akan tetapi dia tetap memerintah di Irak atas nama pamannya, Sanjar, meskipun pada saat yang sama ia merupakan sultan bagi bangsa Saljuk di Irak.
Sepeninggal Mahmud, gelar sultan jatuh kepada putranya Dawud (1131-1131), Thugril II (1132-1134), Mas'ud ( 1134-1152). Malik Syah II (1152 – 1153 ), Muhammad II (1153-1159), Sulaiman Syah (1159-1161), Arselan Syah (1161-1175) dan Thugrul III (1175-1194).
Hampir keseluruhan penguasa Saljuk di Irak menduduki puncak kekuasaan pada usia yang sangat muda, Mahmud umpamanya, ketika menjadi sultan Saljuk Irak, ia masih berusia 13 tahun. Karna itu, penguasa Saljuk Irak hampir dapat dikatakan hanyalah sebagai Penguasa simbolik. Sedangkan secara politik kekuasaan para sultan berada di tangan atabeg[13] (bapak asuh) dan amir yang mengelilingi sultan dan mengendalikan administrasi pemerintahan dengan sekehendak hatinya.

3.      Saljuk Syiria
Nenek moyang kelompok ini adalah Tajuddaulah Tutusy bin Alp-Arselan yang telah mulai memerintah Syam pada tahun 470 H/ 078 M atas perintah Maliksyah yang memberinya wilayah kekuasaan di Damaskus dan sekitarnya. Tutusy berhasil meluaskan pengaruhnya ke halep (Aleppo), ar-Raha ( Rayy), Harran (Turki). Azerbaijan dan Hamada sebagai batu loncatan untuk menguasai Iran. Kareananya, Tutusy terlibat peperangan dengan Rukn al-Din Barqyaruk, kemenakannya. Barqyaruk tidak kuasa membendung Tutusy dan ia melarikan diri ke Isfahan untuk meminta bantuan saudaranya Nashir al-Din Mahmud. Akhimya Tutusy di bunuh keponakannya pada sebuah pertempuran besar dekat Rayy pada tanggal 7 Safar 488 H / 1095 M.
Sepeniniggal Tutusy, kesultanan Syiria dilanjutkan oleh Ridwan Fakhr al-Mulk (488 - 507 H/ 1095 - 1113 M), Syams al-Mulk Abu Nashr Duqaq ibn Tutusy (488-497 H/ 1095 - 1104 M), Taj al-Daulah Alp-Arselan al-Akhrasy ibn Ridwan (507 H/1113 M), Sultan Syah ibn Ridwan di bawah pengawasan Bad al-Din lu’lu’. Akhimya kesultanan Syiria lenyap pada tahun 511 H/1117 M pada masa kekuasaan para atabeg garis keturunan Tubtigin (Buriyyah ) dan para amir Arluqiyyah ).[14]

4.      Saljuk Kirman (1041-1186 M)
Keturunan Saljuk di Kirman disebut juga Qawurtiyun. Sebutan tersebut diambil dari pendiri kerajaan Saljuk di wilayah ini, yaitu 'Imad al-Din Kara Arsela Qawurt ibn Chaghri Bek dawud ibn Mikail. Sedangkan kaitan dengan Dinasti Saljuk adalah bahwa Qawurt adalah saudara Alp-Arselan ibnn Chaghri Bek yang pergi ke Kirman dengan kelompok Guzz, sekitar tahun 1041 M.
Beberapa tahun kemudian ia telah menduduki ibu kota Bardasir dan berhasil mendirikan pemerintahan di daerah Persia. Setelah merasa kuat, Qawurt menunjukkan sikap menentang terhadap kekuasaan saudaranya Alp-Arselan tetapi kemudian surut kembali setelah merasakan keunggulan Alp-Arselan.
Sewaktu Malik Syah naik tahta, Qawurt mencoba menggulingkannya karna merasa lebih berhak atas tahta itu. Ia menyiapkan tentara yang besar menuju Rayy unuk memerangi kemenakannya. tetapi Malik Syah mencegat di Hamadan dan berhasil membunuhnya (466/1074 M). Malik Syah mengangkat Sultan Syah bin Qawurt sebagai penguasa Kirman sampai tahun 477 H/ 1084 M. Selanjutnya tahta kesultanan yang dipegang oleh Turan Syah (1084-1097 M), Iran Syah (1097-­1100), Arslan Syah (1101-1142 M), Muhammad (1142-1156 M) dan Thugrul Syah (1156-1169).
Sepeninggal Thugrul Syah, tercatat kalau Saljuk Kirman memiliki tiga orang sultan yang masing-masing mengklaim bahwa dia adalah pengusa tertinggi. Mereka adalah Bahramsyah. Arslan II dan Turan Syah II. Akibatnya, Saljuk Kirman dibagi menjadi tiga wilayah, tetapi di antara ketiga penguasa tersebut, Turan Syah memilik kekuatan paling besar. Setelah Turan Syah meninggal pada tahun 579 H/ 1183 M), ia digantikan oleh Muhammad Syah ibn Bahrain Syah (1183-1186 M).[15]
Kehancuran Saljuk Kirman disebabkan oleh kedatangan raja-raja Guzz. yang kemudian berhasil menguasai kesultanan. Bahkan akhirnya dapat menurunkan sultan terakhir, yakni Muhammad Syah (582 H/1186 M). Mulai tahun berikutnya (583 H/1187 M) wilayah Kirman menjadi kekuasaan kelompok Guzz dengan rajanya Malik Dinar.

5.      Saljuk Rum / Asia Kecil
Saljuk Roma berkuasa sekitar 220 tahun, dengan jumlah kesultanan kurang lebih 14 orang. Asal usul keturunan mereka berasal dari moyangnya Abu al-Fawaris Qutulmisy bin Israil bin Saljuk, yang diangkat sebagai penguasa di daerah al-Mawsil (Mousul, Irak), Diyar Bakr dan Syam pada masa penaklukan yang pertama.
Setelah mangkatnya Thrugrul Bek pada 455 H/1063 M dan naiklah Alp-Arselan, ia melakukan pemberontakan karna merasa lebih berhak atas jabatan itu. Tetapi ia berhasil di bunuh Alp-Arselan. Atas campur tangan Nizam al-Mulk, keluarga ini selamat dari penghancuran total, hanya saja penguasanya tidak diperkenankan memakai gelar amir.
Selanjutnya, pimpinan pemerintahan kemudian di pegang oleh Sulaiman bin Qutlumisy yang diberi wewenang mcnguasai Asia Kecil atas perkenanan dari Malik Syah. Nama Sulaiman makin terkenal setelah berhasil merebut Antakiyah pada tahun 477 H/ 1085 M dari tangan orang-orang Philaterus, Armenia. Sulaiman terlibat peperangan dengan Tutusy yang berakhir dengan kematiannya.
Meskipun masa pemerintahan Sulaiman diwarnai oleh banyak penaklukan. Ada dua hal yang perlu dicatat dalam sejarah, yaitu: pertama, bangsa Armenia yang tertekan akibat tekanan keagamaan Byzantium, mendapatkan kebebasan beragama pada masa Sulaiman bin Quthlumusy. Kedua, tidak lama Setelah ia naik tahta, ia membagikan tanah kepada para petani yang belum memiliki tanah. Tanah ini dahulunya merupakan milik pejabat Byzantium. Kebijakan ini memberikan konstribusi penting bagi kehidupan sosial yang harmonis dan mengeliminasi munculnya aristokrasi para pemilik tanah.[16]
Setelah Sulaiman ibn Quthlumisy wafat. Malik Syah kemudian mengangkat anak Sulaiman Qilij Arslan I,  ia menjalin hubungan dengan kaisar Byzantium sehingga ia memiliki kebebasan melebarlan pengaruh ke wilayah sebelah timur. Kemudian Qilij kembali ke ibu kota untuk mempertahankannya dari serangan tentara Salib. Ketika kota ini jatuh ketangan tentara Salib, Qilij Arslan I memindahkan ibukota ke Kenya. Setelah itu menjalin kerja sama dengan kaisar Byzantium dalam melawan tentara salib. Dalam pertempuran hebat dengan tentara Saljuk Raya di sungai Khabur, Qilij terbunuh.[17]
Secara kronologis para penguasa Saljuk Roma adalah sebagai berikut: Sulaiman bin Quthlumusy, Qilij Arslan I (1086-1107 M), Malik Syah dan Mas'ud (1107-1155 M), Qilij Arslan II (1156-1192 N1),  Rukhnudin Sulaiman II (1196-1204 M), Qilij Arslan III dun Giyasuddin Kaikhusraw (1204-1210 M), Izzuddin Kaikhusraw I (1210-1219 M), Alaudin Kaikobad (1219-1237 M), Izzuddin Kaikhusraw II (1237-1245 M), Izzudin Kaikhusraw III (1246-1256 M ), Rukhnuddin Qilij Arslan IV (1237-1266 M), Giyasuddin Kaikhusraw III (1266-1282), Giyasuddir, Mas'ud II dm Alaudin Kaikobad II (1282 -1302 M).
Turki Saljuk di Anomalia mencapai masa kejayaannya pada petnerintahan Alaudin Kaikobad ( 1219-1237 M ). Ketika itu kawasan Asia berada dalam ancaman penakhlukan bangsa mongol ia membangun tembok yang melindungi kota Kenya. Dia mempekerjakan armada lautnya dengan membangun industry kapal di Kolonoros.[18]
Kesultanan Saljuk ini dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan Dinasti Saljuk yang lain meskipun terjadi banyak pertentangan intern. Kehancuran dinasti Saljuk Asia kecil diawali dengan masuknya orang-orang Mongol yang lama kelamaan dapat mengusai pemerintahan, dan akhirnya mampu merebut kesultanan dihawah pimpinan Gaza Khan.

C.    Kemajuan yang dicapai Dinasti Saljuk
a.       Bidang Ilmu Pengetahuan
Pada masa pemerintahan Alp-Arselan, ilmu pengetahuan mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Malik Syah bersama perdana mentrinya Nizham al-Mulk. Nizam al-Mulk inilah yang memprakarsai beridirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Nizham al-Mulk ini adalah seorang yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu agama, pemerintahan dan ilmu pasti.
Pada masa Malik syah inilah lahir ilmuan-ilmuan muslim seperti al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa dan theology, al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang theology, Farid al-Din al-Aththar dan Umar Kayam dalam bidang sastra dan matematika.[19] 

b.      Bidang Politik dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Dinasti Saljuk, mereka mengembalikan jabatan wazir yang sebelumnya ditukar dengan khatib oleh Dinasti Buwaihi. Di samping itu, mereka melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang berada di sekitar wilayah kekuasaannya seperti Jurjan, Tabaristan, Rayy, Qazwain, Zanjan, bahkan hamper mengusai seluruh wilayah Iran, Wilayah Irak Barat, Kirman, Kurzistan dan Oman.
Puncaknya pada masa pemerintahan alp-Arselan, kekuasaan dinasti Saljuk sampai ke Asia Barat, yaitu daerah Bizantium sebagai pusat kebudayaan Romawi, Perancis, Armenia, Guzz dan al-Akhraj. Dalam ekspansi ini terjadi peristiwa yang dinamakan dengan manzikart (1071 M), di mana Raja Romawi Romanus Drogenes memerintahakan tentaranya untuk menentang tentara alp-Arselan dan mendengar pernyataan tersebut membakar semangat perang kaum Saljuk sebagai wujud mempertahankan harga diri dan kaumnya.[20]

c.       Bidang Pembangunan Fisik
Kaum Dinasti Saljuk sangat suka dan gemar pada bangunan-bangunan besar dan megah, ukiran-ukiran yang cantik dan gambar-gambar yang dipenuhi hiasan. Karena begitu senangnya dengan karya seni, sulthan-sulthan memberikan perlindungan dan perhatian terhadap hasil karya seni serta memberikan motivasi kepada penciptanya untuk terus berkarya.
Bangunan yang banyak dibangun adalan jalan-jalan, mesjid jembatan dan saluran irigasi. Bahkan pada masa alp-Arselan dilakukan pemugaran benteng Bukhara dan tembok Madinah dan mendirikan sebuah mesjid yang megah dengan dua mahligai yang besar di Samarkhan, kemudian salah satu mahligai tersebut dijadikan sekolah.[21]
D.    Kemunduran dan Kehancuran Daulah Abbasiyah
Kehancuran Bani Saljuk merupakan tonggak kehancuran Daulah Abbasiyah, karena fakta sejarah menyebutkan bahwa setelah kehancuran Bani Saljuk, muncul dinasti-dinasti kecil tetapi tidak lagi terikat dengan Daulah Abbasiyah. Penulis akan memaparkan beberapa penyebab yang melatar belakangi kehancuran Daulah Abbasiyah ini.
a.      Faktor Internal
Sebagaimana terlihat dalam perioderisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namur demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.[22]
a.       Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang­ orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa, itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa, non-Arab (‘ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-­budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Adalah Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami, sehingga khalifah berikutnya menjadi boneka mereka.[23]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kernudian direbut oleh Bani Buwaihi, bangsa Persia pada periode ketiga (334-447 H), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Saljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590 H).[24]

b.      Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah. Secara rill daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[25]
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karna khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[26] Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.[27]
Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua cara, pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Kedua, seorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah yang kedudukannya semakin kuat, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah di Khurasan.
Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekhalifahan Baghdad pada masa Khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
1.    Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
2.    Yang berbangsa. Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Saljuk dan cabang-cabangnya.
3.    Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
4.    Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 H), Aghlabiyyah di Tunisia (180-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
5.    Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[28]

c.       Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul­mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.[29]
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[30]
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-­marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tidak terpisahkan.

d.      Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasui, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[31] Setelah al-Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mandi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering tejadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M), kembali memperkenankan orang syi’ahmenziarahi” makam Husein tersebut.[32] Syi’ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu’tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma’mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu’tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Saljuk yang menganut paham Asy’ariyyah penyingkiran golongan Mu’tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy’ariyah tumbuh subur dan bedaya. [33]

b.      Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhimya hancur.
1.      Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang dari pasukan Alp-Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertabah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang­-orang Kristen yang ingin berziarah ke sana. Pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib. Perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau peride telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.[34]
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlulkitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.[35]

2.      Serangan Mongolia Ke Negeri Muslim dan Berak-himya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H). mereka adalah orang-orang Badui­ sahara yang dikenal keras kepala dan suka berlaku jahat.
Sebagai awal penghancuran Baghdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia kecil.[36] Pada bulan September 1257 M, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258 M, pasukan Hulagu bergerang untuk menghancurkan tembok ibukota.[37] Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base camp pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dibunuh. Hulagu mengzinkan pasukannya untuk melakukan apa saja di Baghdad. Mereka menghancurkan kota, dan membakamya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.
Perlu juga disebutkan disini peran busuk yang dimainkan oleh seorang Syi’i Rafidhah yaitu Ibn ‘al-Qami, menteri al-Mu’tashim, yang bekerjasama dengan orang-orang Mongolia dan membantu pekerjaan-pekerjaan mereka.[38]

E.     Kesimpulan
Dinasti Saljuk dirintis oleh Saljuk ibn Tuqaq, yang kemudian diproklamirkan pada masa Thugrul Bek yang mendapat legalitas dari khalifah al-Qaim. Dinasti Saljuk merupakan Dinasti yang berkuasa pada masa kekhalifahan Daulah Bani Abbasiyah.
Dinasti Saljuk terbagi kepada 5 cabang yaitu, Saljuk Agung (Raya), Saljuk Kirman, Saljuk Syria, Saljuk Irak dan Saljuk Rum atau Asia Kecil. Dinasti Saljuk memberikan kontribusi yang besar terhadap peradaban Islam, kemajuan yang dicapai pada era ini menjadikan dunia Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban, kemajuan tersebut meliputi kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kemajuan dalam bidang sosial politik dan kemajuan di bidang seni dan arsitektur. Dinasti Saljuk mengalami kemunduran yang membawa kepada kehancuran disebabkan oleh faktor internal, terjadi perebutan kekuasaan antara anggota keluarga. Ini merupakan benih perpecahan yang ditanam sendiri dengan membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa bagian. Disamping itu faktor ekstemal juga mempunyai andil yang signifikan dalam hal ini yaitu terjadinya penyerangan yang dilakukan oleh tentara Romawi.
Kehancuran Dinasti Saljuk /Bani Saljuk merupakan tonggak kehancuran Daulah Abbasiyah secara nyata, walaupun 400 tahun sebelum itu benih-benih kemunduran Daulah Abbasiyah ini sudah terlihat Ada beberapa faktor yang melatar belakangi kehancuran Daulah Abbasiyah yaitu faktor internal seperti perebutan kekuasaan, munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri, kemerosotan dalam bidang ekonomi serta munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme keagamaan. Di samping faktor intemal tersebut, faktor eksternal juga tidak kalah penting dalam mewujudkan kehancuran Daulah Abbasiyah seperti perang salib dan serangan dari tentara mongol yang meluluhlantakkan Baghdad. Dengan jatuhnya Baghdad ke tangan tentara mongol maka kondisi tersebut dianggap sebagai akhir kekuasaan Daulah Abbasiyah.


[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo: 2006), h. 64
[2] Ibid., h. 65
[3] Syafiq A. Mughni dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Islam di Turki lebih sering menggunakan kata “Dukak” untuk menyebut Saljuk ibn Tukak, sedangkan dalam literature lain nama Saljuk yang familiar adalah Saljuk ibn Tukak dan penulis memilih ini.
[4] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), h. 13
[5] Ibid, h. 14
[6] Ibid
[7] Badri Yatim, op. cit., h.73
[8] Safiq A. Mughni. Op.cit, h. 15
[9] Ibid.
[10] A Syalabi, op.cit., h 337
[11] W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Orientalis, alih bahasa oleh Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1990)., h.246
[12] Syafiq A. Mughni, op.cit, h.20
[13] Tradisi atabeg merupakan tradisi kuno masyarakat Turki, sultan diasuh dan dibesarkan oleh orang-orang Turki terkemuka yang disebut atabeg. Masing-masing atabeg berusaha memperjuangkan jabatan Sultan bagi pangeran yang diasuhnya dalam rangka meningkatkan prestise dirinya. Lih. Ensiklopedi  Islam, h. 264
[14] Syafiq A mughni, op.cit., h 29
[15] Ibid., h. 30-11
[16] Ibid., h. 35
[17] Ibid., h. 37
[18] Abu Su’ud, Islamologi, (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2003)., cet.I., h.81
[19] Badri Yatim, op.cit., h. 76
[20] Ahmad Syalabi, loc.cit.
[21] Ibid., h.351
[22] Badri Yatim, op.cit., h. 80
[23] Yusuf al-Isy, Tarikh ‘Ashy al-Khilafah al-Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, (Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2007)., h. 102-104
[24] Badari Yatim , op.cit., h. 50
[25] Ibid., h. 63., Lih. Sir William Muir, The Caliphat, (New York: AMS Inc, 1975)., h.432
[26] Ibid.
[27] Yusuf al-Isy, op.cit., h. 137
[28] Badari Yatim , op.cit, h. 261- 297
[29] Philip K. Hitti, History of the Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2008)., h. 436 dan h. 618
[30] Badari Yatim , op.cit. h. 82 Lih. Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jil. I, (Kairo: Lajnah al-­Ta’lifwa al-Nasyr)
[31] Ahmad al-Usyairy, at-Tarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar, 2003)., h. 224
[32] Badari Yatim , op.cit. h. 83
[33] Ibid. h. 84
[34] Ibid. h. 76-79
[35] Ibid, h. 85 Lih. Sir William Muir, Ibid.
[36] Ahmad al-Usyairy, op.cit., h. 258
[37] Philip K. Hirai, op.cit., h. 619
[38] Ahmad al-Usyairy, op.cit., h.259

Tidak ada komentar:

Posting Komentar