Rabu, 15 Mei 2013

SYI’AH; Zaidiyyah, Imamiyyah, dan Ghulat




A.    Pendahuluan
Perbedaan pendapat, pandangan dan pemikiran adalah suatu yang fitrah dan lumrah. Tentunya perbedaan tersebut harus dilandasi oleh azas kebenaran. Al-Qur’an sebagai kalam Allah diyakini oleh umat Islam sebagai sumber kebenaran yang absolut. Ternyata Al-Qur’an tidak datang dalam bentuk yang rinci seperti layaknya peraturan lalu lintas. Hal ini membuka peluang ijtihad yang seluas-luasnya untuk merinci penjelasan tersebut. Bahkan dalam suatu kasus tidak ditemukan nashnya baik didalam Al-Qur’an maupun di dalam Hadits, tentu manusia berupaya untuk mencari solusi yang terbaik melalui ijtihad. Berangkat dari pandangan di atas lumrah kiranya jika di dalam sejarah umat Islam terjadi perdebatan dalam memandang suatu persoalan. Keberagaman pendapat tersebut memupuk subur pertumbuhan dinamika peradaban umat Islam sehingga menuai berbagai mazhab dan aliran, termasuk syi’ah.
Syi’ah pada dasarnya lahir sebagai mazhab politik yang menyuarakan Ali Ibn Abi Thalib sebagai Khalifah. Perkembangan dinamika keberagaman pemikiran syi’ah  melahirkan berbagai sekte yang inti ajarannya berkisar pada persoalan imamah. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata dari ajaran imamah inilah mereka berangkat menuju teologi. Walaupun dalam realitasnya ada sekte yang masih berpegang pada prinsip-prinsip Islam dan ada pula sekte yang telah keluar dari prinsip-prinsip Islam, ada yang masih tetap bertahan sampai sekarang, dan ada pula yang telah  hilang ditelan sejarah.
Tulisan ini mencoba mengkaji beberapa masalah tentang syi’ah yaitu: Pengertian syi’ah, asal usul, ajaran pokok, sekte Zaidiyyah, Imamiyyah, dan Ghulat dan ajarannya, serta menyajikan analisa perbandingan ketiga ajaran sekte tersebut. Meskipun amat disadari bahwa topik-topik ini hayalah segelintir pembahasan tentang syi’ah, namun penulis berharap pembahasan ini representatif untuk dijadikan bahan diskusi.
B.     Pengertian
Secara bahasa syi’ah berarti pengikut dan penolong.[1] Ada juga yang mengartikan dengan kelompok, jama’ah, dan golongan.[2] Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap golongan atau kelompok yang mempunyai pengikut dan memberikan bantuan kepada imamnya disebut dengan syi’ah. Lebih lanjut, sebagaimana yang dikutip oleh al-Qifariy, Al-Azhariy mengartikan syi’ah dengan kelompok yang mengikuti sebagian yang lain dan tidak semua mereka sepakat dengan apa yang diikutinya.[3] Artinya dalam hal tertentu mereka sependapat, namun dalam hal lain mereka berbeda pendapat, sehingga terdapat sekte-sekte dalam satu golongan. Di dalam Al-Qur’an juga terdapat kata syi’ah yang pada intinya bermakna kelompok atau golongan, contohnya firman Allah dalam surat al-‘An’am ayat 159:
ان الذين فرقوا دينهم وكانوا شيعا......
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah agamanya mereka terpecah menjadi beberapa golongan.”                                                     
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah telah dikenal kata syi’ah. Akan tetapi penyebutan syi’ah tidak saja ditujukan pada kelompok Ali namun kelompok mu’awiyyah juga disebut dengan syi’ah,[4] namun dalam agama Islam kata syi’ah identik dengan pengikut Ali. Nama syi’ah digunakan untuk golongan yang mengagungkan Ali ibn Abiy Thalib dan ahli al-bait.[5]
            Penggunaan makna syi’ah secara bahasa sebenarnya tidak tepat, walaupun al-Zabidiy telah menjelaskan bahwa syi’ah identik dengan golongan yang mengagungkan Ali ibn Abiy Thalib dan ahli al-bait, karena apabila ada orang yang mengatakan bahwa Abu Bakar lebih utama dari pada Ali, maka ia disebut dengan syi’ah (dalam pengertian pengikut Abu Bakar). Akan tetapi realitas sejarah telah merubah makna kamus, sehigga apabila disebut syi’ah, maka pengertiannnya mengacu pada pengikut Ali dan ahli al-bait. Sehingga Al-Syarastaniy juga mendefenisikan syi’ah dengan pengikut Ali saja.[6]
C.    Asal Usul Syi’ah
Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa syi’ah adalah mazhab politik tertua di dalam Islam yang lahir pada akhir pemerintahan Utsman ibn Affan dan berkembang pesat pada masa pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib[7]. Harun Nasution menyebutkan bahwa syi’ah lahir dari peristiwa arbitrase, dimana peristiwa ini memunculkan dua pandangan yang berbeda dari pihak Ali. Pertama golongan yang menolak arbitrase yang disebut dengan Khawarij (keluar dari kelompok Ali). Kedua golongan yang tetap dalam barisan Ali yang disebut dengan syi’ah. Sehingga peristiwa arbitrase ini telah melahirkan tiga kelompok Islam, yaitu Khawarij, syi’ah, dan mu’awiyyah.[8]. Dua pendapat di atas harus dianalisa kembali, sebab mengenai asal-usul kelahiran syi’ah terdapat beragam pendapat, baik pendapat yang berasal dari pengikut syi’ah sendiri maupun pendapat selain syi’ah, berikut uraiannya:



1.      Pendapatan pengikut syi’ah
a.       Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah telah lahir sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Abi Hasan mengatakan bahwa kepemimpinan Ali telah tertulis di dalam mushhaf para nabi sebelumnya: “tidak diutus seorang Rasul kecuali Muhammad SAW dan mewasiatkan Ali as sebagai khalifah.[9] Sebagaimana dijelaskan di sebagian ayat al-Qur’an bahwa para Nabi terdahulu diutus untuk menyeru kepada mentauhidkan Allah SWT dan tidak ada satu ayat pun yang menjelaskan tentang wasiat Ali sebagai khalifah. Seperti firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 59:
لقدارسلنا نوحاالى قومه فقال يا قوم اعبدوا الله مالكم من اله غيره

  Artinya: “Sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah sesunggunya tidak ada Tuhan bagimu selain Ia…”.[10]
b.  Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah telah ada pada zaman Nabi SAW, dengan alasan bahwa pada masa Nabi telah banyak para sahabat  menjadi pengikut Ali (tasyi’). Al-Qimiy mengatakan bahwa: syi’ah Ali telah ada sejak zaman Nabi dan setelahnya, adapun para sahabat yang mengakui keimaman Ali di antaranya adalah: al-Miqda ibn Aswad, Salman al-Farisi, abu zar Jundib ibn Janadah al-Gaffariy, dan Ammar ibn Yasar al-Madzhajiy. Salman al-Farisi adalah Amil kahlifah Umar di Kuffah dan Ammar ibn Yasar di beberapa kota, diartikan sebagai pengikut setia Ali dan menolak kekhalifan sebelumnya (al-Rafidhah), maka tentu kedua sahabat di atas tidak akan menjadi amil pemerintahan Umar ibn Khattab.
c.       Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah telah lahir pada waktu peperangan Jamal. Ibn Nadim berkata: “Ali memerangi Thalhah dan Zubair untuk membunuh keduanya, maka orang yang ikut membantu Ali dalam peperangan itu disebut dengan syi’ah”[11] Disini kata syi’ah dimaknai oleh ibn Nadim dengan pengikut atau penolong Ali, maka pertolongan pertama yang diberikan oleh pengikut Ali adalah pada peperangan Jamal.

2.   Pendapat selain Syi’ah
a.   Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah muncul setelah wafatnya Nabi, ketika mencuat isu bahwa Ali-lah yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi. Ahmad Amin mengatakan bahwa benih pertama kelahiran syi’ah adalah ketika wafatnya Nabi bahwa ahli al-bait adalah orang-orang yang utama untuk menggantikan Nabi, dan yang utama dari kalangan ahli al-bait adalah Ali ibn Abi Thalib.[12]
b.   Syi’ah muncul setelah terbunuhnya Utsman dan munculnya Abdullah ibn Saba'[13]. Abdullah ibn Saba’ adalah orang yang pertama kali menanamkan benih syi’ah. Ia adalah orang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam pada akhir pemerintahan Utsman. Dialah yang pertama kali mengisukan bahwa yang berhak menggantikan Nabi adalah Ali, dan ia juga yang mengobarkan api peperangan antara Ali dan Mu’awiyyah (perang Siffin), dan Aisyah (perang Jamal).[14]

Di antara pendapat-pendapat di atas, secara umum dapat diurutkan sesuai dengan perjalanan sejarah, yaitu: (1) sebelum diutusnya Nabi, (2) pada masa Nabi, (3) setelah wafatnya Nabi, (3) pada masa Nabi akhir kekhalifahan Ustman. Dan pendapat ketiga dapat pula dibagi menjadi tiga, yaitu: (a) pada peperangan jamal (b) pada peristiwa arbitrase (perang Siffin), dan (c) munculnya Abdullah ibn Saba’.
Jika disimak secara objektif dan konferhensif, sebenarnya kajian tentang asal-usul syi’ah dapat dilihat dari dua aspek, pertama syi’ah sebagai suatu pandangan (syi’isme) dan kedua syi’ah sebagai suatu mazhab atau aliran (dalam arti telah terbentuknya mazhab syi’ah). Dari perjalanan sejarah, pandangan yang mengarah pada pengagungan Ali sudah ada sejak zaman Rasulullah – namun pandangan tentang adanya isyarat syi’ah sebelum diutusnya Rasulullah amat sulit diterima, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan alasan[15], bahwa:
1.      Ali Ibn Thalib adalah orang yang memberikan dukungannya kepada Nabi tatkala Nabi mendapat cemoohan.
2.      Ali adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah dilakukannya. Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Rasulullah SAW di malam peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah SAW hendak berhijrah ke Madinah, dan kepahlawanannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar.
3.      Ali pernah diangkat oleh Nabi sebagai wakilnya di Madinah ketika Nabi melakukan ekspansi ke Tabuk. Dan lain-lain.

Semua peristiwa di atas terjadi pada masa Nabi sehingga ia menjadi sebagian alasan bagi segelintir kalangan untuk mengutamakan Ali. Selain itu Ali adalah keturunan dekat Nabi. Sehingga keistimewaan Ali menjadi legitimasi atas munculnya syi’isme. Dan tidak salah kiranya pandangan ini berkembang dan menuntut realisasi setelah Nabi wafat. Sesaat setelah Nabi wafat terjadi peristiwa saqifah bani sa’idah. Peristiwa ini menjadi event penting yang perlu digarisbawahi karena pengangkatan khalifah Abu bakar oleh kaum anshar dan Muhajirin, dianggap sebagai perampasan hak Ali. Ini menunjukkan bahwa setelah Nabi wafat baru lahir syi’ah sebagai suatu pandangan.
Kelahiran syi’ah sebagai suatu mazhab tidak terlepas dari pandangan di atas, oleh karena itu kita bisa mengklaim satu pendapat yang benar. Pendapat umum mengatakan bahwa syi’ah sebagai suatu mazhab lahir pada masa akhir pemerintahan Utsman ibn Affan, hal ini pun masih diperselisihkan. Jika ibn Nadim mengatakan bahwa syi’ah sebagai suatu mazhab lahir pada waktu peperangan Jamal, juga dapat dibenarkan, dimana ibn Nadim memahami syi’ah sebagai pengikut atau penolong Ali, maka pertolongan pertama yang diberikan oleh pengikut Ali adalah pada peperangan Jamal. Namun tidak semua pengikut dan penolong Ali pada peperangan Jamal setuju dengan peristiwa tahkim. Pengikut dan penolong Ali yang setia tentu yang sependapat dengannya. Jika demikian, maka peristiwa tahkimlah yang memutuskan hitam dan putihnya kelahiran syi’ah sebagai suatu mazhab. Sedangkan kemunculan Abdullah ibn Saba’ adalah pewarna bagi perkembangan syi’ah serta telah melahirkan corak teologi syi’ah yang ekstrim.

D.    Ajaran Syi’ah
Pengikut syi’ah mengatakan bahwa persoalan Imamah dan khilafah mestilah ditetapkan berdasarkan pencalonan dan penunjukan baik terbuka maupun tertutup. Mereka meyakini bahwa persoalan Imamah haruslah berasal dari keluarga Ali, jika Imamah itu pernah berada dari selain keluarga Ali hal itu merupakan kekeliruan yang dilakukan oleh pihak lain di pihak imam yang benar. Imamah bukanlah masalah sipil yang dapat diselesaikan melalui pemilihan yang dilakukan oleh publik, akan tetapi ia adalah masalah yang pokok; ia merupakan rukun agama. Oleh karenanya tidak boleh bagi Rasul menyepelekannya apalagi menyerahkan pada publik, ia bahkan wajib bagi Rasul menentukannya.[16]
Selain itu syi’ah berkeyakinan bahwa para Nabi dan imam ma’sum terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, demikian juga dengan imam-imam sesudahnya. Ali ditunjuk oleh Nabi sebagai penggantinya melalui wasiat, oleh karena itu syi’ah meyakini bahwa imam dipilih melalui wasiat imam sebelumnya.[17] Secara tegas dapat dikatakan bahwa imam adalah perantaraan Tuhan dan manusia. Ia berfungsi sebagai pemimpin agama (spiritual) dan nagara (politik).[18] Oleh karena itu, bagi syi’ah, imam diletakkan sebagai salah satu rukun iman yang wajib di ikuti dan ditaati.



E.     Sekte-sekte Syi’ah dan Ajarannya
Menurut al-Syahrastaniy, syi’ah terdiri dari lima sekte, yaitu: Kaisaniyyah, Zaidiyyah, Imamiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah.[19] Dalam sub-bab ini, sesuai dengan silabus, penulis hanya akan membahas tiga sekte yaitu: Zaidiyyah, Imamiyyah, Ghulat.
1.      Zaidiyyah
Golongan Zaidiyyah merupakan pengikut Zaid Ibn Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Mereka berpegang bahwa Imamah menjadi milik keturunan Fathimah dan tidak boleh dipegang oleh orang lain. Tetapi mereka mengakui semua golongan Fathimah yang terpelajar shaleh, berani dan dermawan sebagai imam yang wajib ditaati, apakah ia dari keturunan Hasan ataupun Husain. Oleh karena itu golongan Zaidiyyah juga mengakui keimaman Imam Muhammad dan Imam Ibrahim anak dari Abdullah ibn Hasan yang memberontak pada pemerintahan Mansur. Mereka juga menolak kemunkinan dua imam pada dua daerah yang berbeda, kecuali kedua imam tersebut memiliki syarat di atas.[20]
Zaid memandang bahwa ada kemungkinan seseorang yang kurang utama (al-mafdhul) untuk menjadi Imam, meskipun ada orang yang lebih utama (afdhal) darinya. Zaid berpendapat bahwa Ali Ibn Abiy Thalib adalah orang yang lebih utama dari para sahabat, namun khalifah pertama dipercayakan kepada Abu Bakar, hal ini karena pertimbangan mashlahah, dan kaedah agama yang mereka perpegangi, yaitu untuk membendung timbulnya fitnah, serta untuk menenangkan hati rakyat. Peperangan diikuti Ali pada zaman Nabi, masih terniang di pikiran orang Quraisy dan orang kafir lainnya, maka dikhawatirkan akan adanya penuntutan balas kepada Ali, sehingga walaupun Ali lebih utama dari yang lain sulit untuk diterima secara politik, maka amat sangat bijaksana kiranya bila jabatan Imam diberikan kepada Abu Bakar sebagai orang yang dikenal dan diterima masyarakat baik hati, paling awal masuk Islam serta dekat dengan Nabi. Ketika Abu Bakar menyerahkan jabatan Imam kepada Umar, sementara Ali dalam kondisi sakit, prosesi transisi tersebut dianggap suatu hal yang bijaksana. Singkat kata, syi’ah Zaidiyyah mengakui khalifah Abu Bakar dan Utsman. Ketika pendapat Zaid di atas didengar oleh pengikut syi’ah di Kuffah mereka menolak Zaid sepanjang hayat. Dan karena alasan inilah ia disebut dengan penganut Rafidhah.[21]
Aliran Zaidiyyah berkeyakinan bahwa seorang imam tidak ditunjuk langsung oleh Nabi, akan tetapi ditentukan oleh Nabi sifat-sifatnya saja, diantaranya berasal dari Bani Hasyim, wara’, (saleh, menjauhkan diri dari dosa), bertakwa, membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka sehingga rakyat mengakui ia sebagai imam. Oleh karena alasan inilah bahwa Ali lah yang berhak menjadi imam, sebab Ali memenuhi sifat-sifat tersebut. Dan adapun yang berhak menjadi imam setelah Ali diisyaratkan pula harus berasal dari keturunan Fathimah.[22] Selain itu, bagi Syi’ah Zaidiyyah, Imamah tidak boleh bersifat anak-anak dan tidak pula bersifat ghaib. Ia harus memiliki kemampuan dalam memimpin perang suci, mempertahankan masyarakat, dan seorang mujtahid.[23] Ketaatan kepada imam hanyalah dalam kebaikan. Imam yang baik, taat, dan adil wajib ditaati.[24]
Zaid Ibn Ali pernah belajar teologi kepada Washil ibn Atha’, seorang pemuka mu’tazilah, konon pengikutnya Zaid menjadi orang mu’tazilah. Hubungan Zaid dan Washil membuat kemarahan pengikutnya, karena Washil ragu-ragu dalam menentukan posisi Ali dalam perang Jamal. Washil tidak sepenuhnya yakin bahwa Ali berada dalam pihak yang benar.[25] Oleh karena itu pemikiran Zaid banyak dipengaruhi oleh gurunya. Contoh keyakinannya adalah bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, Al-Qur’an adalah makhluk, dan tidak menerima takdir begitu saja.[26] Orang yang melakukan dosa besar tidak kekal di dalam neraka, selama mereka belum bertaubat dengan taubat sebenar-benarnya.[27]
Dalam perkembangan selanjutnya syi’ah Zaidiyyah terpecah menjadi empat kelompok, yaitu: Jarudiyyah pengikut Abu al-Jarud Ziyad ibn Abu Ziyad, Sulaimaniyyah pengikut Sulaiman ibn Jarir, Shalihiyyah pengikut Hasan ibn Shalih ibn Hayy, dan Bitriyyah pengikut Katsir al-Hawa al-Abtar.[28]
Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa Zaidiyyah dalam perkembangannya terbagi menjadi dua, pertama para penganut Zaidiyyah generasi pertama, dipandang tidak ekstrim karena mengakui keimaman Abu Bakar dan Umar, kedua pengikut Zaidiyyah generasi belakangan, dipandang ekstrim karena tidak mengakui keimaman Abu Bakar dan Umar.[29]
2.      Imamiyyah
Disebut Imamiyyah karena yang menjadi paham dasar aqidah mereka adalah imamah. Sekte ini juga dikenal dengan syi’ah istna al-asyariah (syi’ah 12), karena mereka meyakini imam yang dua belas,[30] sebagaimana terdapat dalam silsilah di atas. Selain itu, ia juga dinamakan dengan Ja’fariyyah yang dinisbatkan pada ja’far al-Shadiq (imam ke enam).[31]
Ada beberapa ajaran pokok syi’ah imamiyyah, di antaranya:
a.      Imamah
      Golongan ini percaya bahwa setelah Nabi Imamah menjadi hak Ali atas dasar nash yang jelas dan penunjukan nyata. Mereka mengatakan bahwa tidak ada yang lebih penting dari pada penunjukan Imam dalam agama dan dalam Islam. Rasul diutus untuk meghilangkan perselisihan dan mencipkatan keharmonisan. Nabi tidak boleh memecah persatuan umat dan meninggalkan mereka dalam perselisihan pendapat. Oleh karena itu, Nabi harus menunjuk penggantinya dan penggantinya itu adalah Ali Ibn Abi Thalib.[32]
Mereka berdalil, dengan sabda Nabi yang berbunyi:
أقضاكم علي
(hakim yang paling baik di antara kamu adalah Ali). Berdasarkan hadits di atas, mereka mengatakan bahwa Imamah adalah hakim utama dalam setiap kasus, dan hakim menjadi penengah bagi orang yang berselisih. Maka ini merupakan implementasi dari firman Allah:
وأطيعو الله واطيعو الرسول و اولى الامر منكم ....
Mereka menjelaskan bahwa ulil amri dalam ayat di atas adalah orang yang dipercayakan kepadanya pengadilan dan pemerintahan.[33]
Keberadaan imam berfungsi sebagai penjaga syari’at, menerangkan dan memeliharanya dari penyimpangan dan kesesatan. Seorang imam adalah hujjah Allah yang berlaku hingga kiamat. Ali mengatakan bahwa bumi ini tidak pernah kosong dari hujjah Allah baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.[34]
Imam bagi syi’ah Imamiyyah merupakan suatu hal yang prinsip dan pokok. Bagi mereka imamah bagaikan kalimat syahadat yang apabila diingkari sama saja mengingkari kalimat syahadat.[35] Sehingga dapat dikatakan bahwa keyakinan terhadap imam sederajat dengan Rasul. Tidak heran bila mereka menganggap bahwa imam adalah ma’sum, dijaga oleh Allah baik dari dosa besar maupun dosa kecil.
b.      Ishmah
            Imam menurut syi’ah adalah ma’sum (suci) terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil. Kema’suman seorang imam bagaikan seorang Nabi, ia terpelihara dari segala bentuk kesalahan dari kanak-kanak sampai akhir hayatnya. Jika tidak demikian maka sebagai pemimpin agama, tentu ia akan melakukan kesalahan dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai imam.
Para imam berhak untuk melakukan tahksish terhadap nash-nash yang bersifat umum dan melakukan taqyid terhadap nash-nash yang bersifat mutlaq.[36] Hal ini merupakan implikasi dari kema’suman imam, yang diakui sederajat dengan Nabi, jadi imam mempunyai otoritas untuk membuat syari’at seperti layaknya seorang Nabi.
Kema’suman seorang imam menurut syi’ah bersifat lahir dan bathin, sebelum dan sesudah ia menjadi Imam. Kema’suman seorang imam hanya dapat diketahui dari keadaannya sebelum menjadi imam, yaitu dari perkataannya yang dapat dijadikan hujjah. Atas dasar ini ia mesti ma’sum sebelum menjadi imam. Jika demikian maka ia akan dijauhi.[37]
c.       Mahdiyyah
Mahdi menurut kacamata syi’ah adalah imam yang ke-12, yaitu Muhammad ibn Hasan al-Azkariy yang disebut dengan Muhammad Mushthafa dengan nama al-Mahdiy al-Munthazar yang lahir pada tahun 255 H, dan wafat 260 H, mereka berkeyakinan bahwa dia tidak meninggal dan sewaktu-waktu akan kembali ke bumi guna menegakkan keadilan, menghukum orang-orang yang zhalim terhadap ahli al-bait.[38]
Keyakinan akan adanya mahdi didasari oleh ajarannya yang disebut dengan raj’ah. raj’ah berarti kembali, mereka berkeyakinan bahwa sebagian manusia yang telah meninggal dapat dihidupkan kembali oleh Allah, karena suatu hikmah. Kemudian di hidupkan kembali bersama manusia dihari kiamat.
d.      al-Taqiyyah
                   Di antara prinsip ajaran syi’ah Imamiyyah adalah taqiyyah. Taqiyah artinya perlindungan, orang syi’ah demi untuk melindungi dirinya boleh berbohong.[39] Dalam kata lain taqiyyah adalah seseorang menunjukkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dirahasiakannya (di dalam hatinya). Bagi mereka taqiyyah adalah rukun agama, bahkan tiang agama dan dengan tiang itu agama dapat berdiri.[40]
لا دين لمن لا تقية له
   “Tidak beragama seseorang tanpa taqiyyah”
Muhammad Kamil al-Hasyimiy mengatakan taqiyyah berarti bohong. Bohong dan taqiyyah adalah dua hal yang tidak berbeda. Karena syi’ah lahir berdasarkan kebohongan demi kebohongan. Kaum syi’ah telah menciptakan kebohongan terhadap kebenaran dan kesucian. Karena syi’ah memberikan kedustaan terhadap sesuatu yang mereka simpan.[41]

3.      Ghulat
Ghulat, dalam bahasa Indonesia berarti berlebih-lebihan atau ekstim. Sehingga syi’ah Ghulat sering juga disebut dengan syi’ah ekstrimis. Atau dalam bahasa al-Syahrastaniy adalah orang-orang yang berlebih-lebihan di dalam menilai imam-imam mereka sehingga penilaian tersebut keluar dari batas-batas sifat penciptaan, dan menganggap imam-imam mereka mempunyai sifat ke Tuhanan. Kadangkala mereka menyamakan seorang imam dengan Tuhan, dan menyamakan Tuhan dengan manusia (tasybih), ajaran mereka seperti layaknya ajaran Yahudi dan Nasrani, orang yahudi menyamakan Tuhan dengan manusia, sedangkan orang Nashrani menyamakan manusia dengan Tuhan.[42]
Keekstriman golongan ini didasarkan pada empat doktrin yang mereka perpegangi, yaitu: al-tasybih (antropomorfisme), al-bada’ (perubahan pikiranTuhan), al-raj’ah, al-tanasuhk (reinkarnasi).[43] Paham tasybih menganggap Tuhan serupa dengan mahkluk, dalam arti mempunyai anggota tubuh. Paham bada’ adalah keyakinan yang mengatakan bahwa Tuhan dapat merubah apa yang dikehendaki-Nya sesuai dengan ilmu-Nya. Paham ini menimbulkan kesan adanya keterbatasan ilmu Tuhan, padahal Tuhan alim dan khabir. Paham raj’ah ialah hidupnya sebagian manusia yang sudah meninggal. Sedangkan paham tanasuhk  ialah menjelmanya roh Nabi atau para imam ke dalam orang-orang tertentu, seperti yang dikatakan oleh Abdullah ibn Amr Ibn Harb bahwa roh Muhammad ibn Hanifah menjelma dalam drinya.[44]
Kelompok syi’ah ekstrimis, menurut al-Syahrastaniy terbagi menjadi 12 kelompok, yaitu: Saba’iyyah, Kalimiyyah, al-Ba’iyyah, Mughiriyyah, al-Mansuriyyah, Khaththabiyyah, Kayyaliah, Hisyamiyyah, Nu’maniyyah, Yunisiyyah, Nusiriyyah, dan Ishaqiyyah. Untuk melihat gambaran keekstrimannya berikut akan penulis paparkan beberapa kelompok disertai dengan ciri khas ajarannya yang ekstrim:
a.       Saba’iyyah
Kelompok ini merupakan pengikut Abdullah ibn Saba’, seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam pada masa khalifah Utsman. Ia berkata kepada Ali: “Engkau adalah engkau” yakni “Engkau adalah Tuhan. Dia adalah orang pertama yang mengatakan bahwa imam yang pertama yang berhak ialah Ali. Dan dari ibn Saba’ inilah golongan ekstrim muncul. Menurutnya Ali masih hidup, dan di dalam diri Ali terdapat unsur ke Tuhanan.[45]
b.      Al-kamiliyyah
               Kelompok ini merupakan pengikut Abu Kamil, ia mengatakan bahwa semua sahabat kafir karena tidak memberikan sumpah setia kepada Ali. Imamah merupakan cahaya yang berpindah dari seseorang kepada orang lain. Cahaya yang satu menjadi nubuwwah dan pada diri yang lain menjadi imamah. Selain itu mereka percaya bahwa Tuhan ada di setiap tempat, berbicara melalui setiap lidah, dan terdapat dalam setiap individu, inilah yang dimaksud dengan hulul.[46]
c.       ‘Alba’iyyah        
      Kelompok ini adalah pengikut al-‘Alba’ ibn Zira’ al-Dausi, atau oleh sebagian orang disebut juga dengan al-Asdi. Ia mengatakan bahwa Ali lah yang mengutus Muhammad, dan Ali adalah Tuhan. Muhammad telah salah, karena seharusnya Muhammad menyeru kepada Ali, bukan pada dirinya sendiri.[47]


d.      Al-Mughiriyyah
Kelompok ini merupakan pengikut Mughirah ibn Said al-‘Ijli. Mereka percaya akan adanya tasybih, Allah memiliki bentuk dan badan dan memiliki bagian-bagian sebagaimana huruf hijaiyyah. Bentuk Allah seperti bentuk manusia yang terbuat dari cahaya dan di atas kepalanya terdapat mahkota cahaya. Dan Allah juga memiliki hati yang memancarkan hikmah.[48]
e.       Al-Mansuriyyah
Golongan ini adalah pengikut Abu Mansur al-Ijliy. Salah satu ajaran ekstrim yang dipertahankan oleh Abu Mansur ialah bahwa Ali adalah sesuatu yang jatuh dari surga. Dan sesuatu yang jatuh dari surga adalah Allah. Ia juga mempertahankan bahwa rasul tidak akan terputus selamanya. Selain itu ia juga mengatakan bahwa surga adalah seorang manusia, dimana kita diperintahkan untuk bergabung bersamanya, ia adalah imam zaman. Neraka adalah seorang manusia dimana kita diperintahkan untuk meninggalkannya, ia adalah musuh imam.[49]

E.           Analisa dan Perbandingan
Persoalan pokok dalam kajian syi’ah adalah persoalan Imamah, sehingga dari ajaran tersebut muncullah berbagai ajaran-ajaran yang mengarah pada teologi. Analisa perbandingan yang dapat disimpulkan dari ketiga sekte tersebut tentang imamah adalah: Bagi aliran Zaidiyyah Imam tidaklah merupakan wasiat dari Nabi kepada seseorang seperti pandangan aliran Imamiyyah, akan tetapi Nabi menentukan sifat-sifatnya. Selain itu bagi Zaidiyyah, orang yang tidak utama bisa saja menjadi imam, sehingga pandangan ini memunculkan adanya pengakuan terhadap keimaman Abu Bakar, Umar, dan Usman.
Bagi aliran Imamiyyah, imam merupakan wasiat dari Nabi, karena jika tidak maka rakyat akan terpecah menurut kehendak dan pendapatnya masing-masing, oleh karena itu Nabi wajib menunjuk penggantinya melalui wasiat. Selain itu mereka berkeyakinan imam mempunyai posisi yang amat tinggi, bahkan sederajat dengan nabi. Dari keyakinan ini memunculkan pandangan bahwa imam adalah ma’sum seperti layaknya Nabi, baik sebelum atau sesudah menjadi imam. Berangkat dari sikap fanatis terhadap imam melahirkan ajaran raj’ah. Dan dari raj’ah ini pulalah mereka meyakini adanya imam mahdi (ajaran mahdiyyah) yang akan datang di akhir zaman. Penulis berasumsi bahwa, adanya ajaran taqiyiah dalam aliran syi’ah imamiyyah ini disebabkan oleh tidak mampunya mereka memberikan alasan yang logis terhadap pendapat-pendapat mereka, sehingga mereka menyembunyikan kebenaran. Seperti halnya wasiat, sebenarnya mereka tahu bahwa wasiat Nabi kepada Ali tidak ada, namun demi untuk mempertahankan hal tersebut mereka harus berdusta peristiwa ghadir khum.
Syi’ah Ghulat juga berangkat dari persoalan imamah. Jika syi’ah imamiyyah menganggap bahwa imam sederajat dengan Nabi, maka bagi aliran Ghulat imam sederajat dengan Tuhan, atau imam adalah Tuhan, Tuhan adalah imam. Untuk mempertahankan doktrin ini maka muncullah ajaran tasybih, yakni menyamakan Tuhan dengan manusia, bada’  Tuhan dapat merubah apa yang dikehendaki-Nya, raj’ah, hidupnya sebagian manusia yang sudah mati, dan tanasuhk, menjelmanya roh nabi atau para imam kedalam orang-orang tertentu.
Dapat dikatakan bahwa aliran syi’ah Zaidiyyah adalah aliran yang moderat, karena selain alasannya dipandang rasional, ia juga terkontaminasi oleh mu’tazilah. Syi’ah imamiyyah adalah aliran yang jumud di dalam berpendapat, sementara syi’ah ghulat adalah aliran yang berlebih-lebihan (ektrimis), ini sesuai dengan namanya, atau dipandang telah keluar dari prinsip-prinsip ajaran Islam.

F.     Kesimpulan
            Dari uraian yang telah digambarkan dan dipaparkan sebelumnya, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik:
1.         Syi’ah secara bahasa berarti pengikut dan penolong, sedangkan secara istilah syi’ah berarti pengikut setia Ali Ibn Abi Thalib secara khusus.
2.         Menurut pendapat umum dan terkuat bahwa syi’ah lahir pada akhir masa kekuasaan Usman ibn Affan, tepatnya pada waktu terjadinya peristiwa tahkim. Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah telah muncul sebelum Nabi diutus adalah pendapat bathil. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah dalam arti pandangan (Syi’isme). Dan pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah muncul pada saat perang Jamal, adalah syi’ah dalam arti penolong Ali, karena pertolongan yang pertama yang diberikan oleh pengikut Ali pada waktu perang Jamal.
3.         Persoalan pokok dalam kajian syi’ah adalah persoalan Imamah, sehingga dari ajaran tersebut muncullah berbagai ajaran-ajaran yang mengarah pada teologi sebagai argumen dari masing-masing aliran atau sekte. Sekte Zaidiyyah dianggap sebagai sekte yang moderat, sekte imamiyyah adalah aliran yang jumud (ortodok), sementara syi’ah ghulat adalah aliran yang berlebih-lebihan (ektrimis).


[1]Ahmad Worson Munawir (selanjutnya disebut dengan Munawir), kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, ( Surabaya: Pustaka Proggresif, 1997) Cet. Ke-16, h. 809
[2]Louis Ma’luf, Munjid fi Lughah al-Arabiyyah al-Mu’ashirah, (Bairut: Dar al-Masyruq, 2000), h.709
[3]Nashir ibn Abdillah ibn ‘Ali al-Qifariy, Masalah al-Taqrib baina ahli al-Sunnah wa al-syi’ah (selanjutnya disebut dengan al-Qifariy, al-Taqrib). (Riayadh, Dar Thibah, 1418 H), h.119
[4]Umar Abduh dan Kartos Away (Ed.), Mengapa kita Menolak Syari’ah, (Jakarta: LIPPI, 1998), h. 3
[5]Nashir ibn Abdillah ibn ‘Ali al-Qifariy, Ushul Mazhab Al-Syi’ah Al-Imamiyah Itsna Asyarairah ‘Ardh wa Naqd (selanjutnya disebut dengan al-Qifariy, ushul Mazhab), (Riayadh, Dar Thibah, 1994), jilid 1, h.30
[6]Abi Al-fath Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastaniy (selanjutnya disebut dengan Al-Syahrastaniy), al-Milal wa al-Nihal, (Bairut: Dar al-Fikr, 1997), h. 118
[7]Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (penterjemah: Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, judul  asli : Tarikh Al-Mazdahib al-Islamiyyah), (Jakarta: Logos, 1996), h. 36
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta: UI-Press 2001), jilid I, h. 89-90
[9] al-Qifariy, Ushul Mazhab, op.cit, h. 57
[10]Al-A’raf ayat 65 menjelaskan tentang Nabi Nuh As. Al-A’raf ayat 73 menjelaskan tentang Nabi Shaleh As. Al-A’raf ayat 85 menjelaskan tentang Nabi Syu’aib As.
[11] Ibid. h. 67
[12] Ahmad Amin, Fajru al-Islam. (Mesir: Maktabah Al-Nahdhah. 1965). h. 266
[13] al-Qifariy, Ushul Mazhab, op.cit., h.71. 71. Lihat: Muhammad Kami al-Hayimi, Hakikat Aqidah Syi’ah, (Penterjemah: H. M. Rasjidi, Judul Asli: Aqaid Syi’ah fi al-Mizan), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989). h. 13
[14] Umar Abduh dan Kartos Away, op.cit., h.4-5
[15] S.H.M. Jafri, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah: dari Saqifah sampai Imamah, (Penterjemah: Meth Keirana, judul asli: Origin and Early Development of Shi’a Islam), (Bandung: Pustaka Hidayat, 1995), h. 48-49. Lihat Fuad Moch. Fachruddin, syi’ah Suatu Pengamatan Kritikal, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), 4-5
[16] al-Syarastaniy, op.cit., h.118. lihat juga: Ahmad Amin, h. 267
[17] Ibid
[18] Yahya Jaya, teologi Agama Islam Klasik. (Padang: Angkasa Raya, 2000), h. 89
[19] al-Syahrastaniy, op.cit.
[20] Ibid. h. 164
[21] Ibid. h. 165
[22]Muhammad Abu Zahrah, op.cit,. h.47
[23] Yahya Jaya, op.cit., h. 94
[24] Ibid. h. 95
[25] Al-Syahrastaniy, loc.cit.
[26] Yahya Jaya, loc.cit.
[27] Muhammad Abu Zahrah, loc,cit.
[28]Al-Syahrastaniy, op.cit. h. 157-161
[29] Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 50
[30] Yahya Jaya, op.cit., h. 91
[31] Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. (Semarang: Ramadhaniy, 1980), h.99
[32] Al-Syahrastaniy, loc.cit.
[33] Ibid., h. 132
[34] Muhammad Abu Zahrah, op. cit., h. 68
[35] Muhammad Kamil al-Hasyimiy, op. cit., h. 18
[36] Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 54
[37] Ibid.,
[38] Abdul Mun’in al-Nimr, Syi’ah Imam Mahdi dan Duruz sejarah dan fakta. (Jakarta: Qasthi Press, 2003), h. 71-72
[39] Muchtar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat. (Palembang: Widyadara, 2001), jilid IV, h. 4
[40] Muhammad Kamil al-Hasyimiy, op.cit., h. 135
[41] Ibid.
[42] Al-Syahrastaniy, op.cit., h. 139
[43]Ibid.
[44] Yahya Jaya, op.cit., h. 98
[45] Al-Syahrastaniy, loc .cit., h. 140
[46]Ibid.
[47] Ibid. h. 143-144
[48]Ibid.
[49] Ibid.  h. 143-144

1 komentar:

  1. Disebabkan bahanbaku yang anda gunakan tidak paham Hadist Tsaqalain sebagai kunci persoalan agama Islam murni, maka kesimpulan yang anda gores juga melenceng dari Al Qur-an dan Ittrah Nabi Suci.
    http://achehkarbala.blogspot.no/2015/04/syiah-dalam-al-quran-adakah-sunni-dalam.html
    Disebabkan tidak punya kesempatan sekarang ini, silakan lihat disini:

    BalasHapus