Rabu, 15 Mei 2013

PERADABAN ISLAM PADA MASA PERIODE AWAL BANI ABBASIYAH (132 H-232H/ 750 -847 M) A. PENDAHULUAN Setelah Nabi Muhammad meninggal kepemimpinan beralih kepada sahabat. Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali adalah sahabat terdekat beliau yang pernah memimpin kaum muslim. Di masa kepemimpinan Usman timbul berbagai persoalan politik di kalangan kaum muslim, hingga membawa Syahidnya beliau. Kisruh di dalam masyarakat muslim berlanjut hingga di masa pemerintahan Ali. Pembunuhan Usman menimbulkan pertentangan antara pihak Ali dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan. Sebagai gubernur Syam dan kerabat terdekat Usman, Muawiyah berupaya memplotisir peristiwa pembunuhan Usman. Melalui ini dia berupaya merebut kekuasaan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Hingga menimbulkan pertumpahan darah yang sangat besar di antara umat Islam seperti peristiwa Perang Shiffin. Dengan permainan politik yang licik, Muawiyah berhasil menyingkirkan Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah. Kejadian ini memicu perpecahan dalam pengikut Ali antara mendukung dan tidak mendukung kebijakan Ali Bin Abi Thalib yang mau berunding dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan. Perpecahan dalam pengikut Ali semakin melapangkan jalan Muawiyah menduduki khalifah, memimpin kaum muslimin. Muawiyah Bin Abi Sufyan adalah pemimpin yang handal, cakap dalam Administrasi dan ahli strategi. Dimasa pemerintahannya dia berhasil memadamkan ketidak senangan tokoh-tokoh yang bersebrangan dengan dirinya. Meskipun demikian diakhir pemerintahannya Muawiyah menyalahi janji yang sudah dibuatnya dengan Hasan Bin Ali Bin Thalib, bahwa kelak jika dia tidak memangku jabatan khalifah, maka urusan kepemimpinan tersebut diserahkan kepada kaum muslimin untuk menentukan pemimpin baru. Muawiyah diusianya yang uzur tersebut menunjuk anaknya Yazid sebagai putra mahkota, yang kelak akan menggantikannya sebagai khalifah. Penunjukkan ini menandai mulainya dinasti Umayyah berkuasa, yang terambil dari nama kakek mereka. Walaupun demikian pencatatan tahun berdirinya Bani Umayyah dihitung sejak naiknya Muawiyah sebagai pemimpin kaum muslimin pada tahun 42 H / 661 M. Penunjukkan Yazid menimbulkan reaksi dan penentangan yang keras dari kaum muslimin, apalagi Yazid bukanlah orang yang tepat karena akhlaknya yang buruk. Yazid tidak dapat dibendung menjadi khalifah. Dimasanya terjadi pembantaian terhadap cucu Nabi Muhammad, Husein dan keluarganya. Apa yang dilakukan Yazid sangat melukai hati keluarga Rasul dan kaum muslimin. Timbullah berbagai pemberontakan di kalangan muslimin. Dari pengikut Ali timbul pemberontakan Syiah dan Khawarij. Semua pemberontakan tersebut dibasmi dengan kejam oleh penguasa Bani Umayyah Perlawanan tiada henti terus dilakukan oleh pendukung Ali Bin Abi Thalib. Dimasa Khalifah Abdul Malik Bin Marwan mulai tidak ada lagi perlawanan. Abdul Malik Bin Marwan berhasil menumpas pemberontakan Abdulllah bin Zubair. Sejak saat itu seluruh lini aspek kehidupan kaum muslimin berhasil dikendalikan oleh penguasa Bani Umayyah. Kaum muslimin dikekang haknya, hingga tiba di masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis. Dimasa beliau kebebasan dirasakan kaum muslimin. Cacian terhadap sahabat di mimbar –mimbar dilarang. Perubahan politik ini dimanfaatkan oleh berbagai kabilah untuk berupaya merebut kekuasaan. Salah satunya keturunan Abbas bin Abdul Muthalib. Sejak pemerintahan Umar Bin Abdul Azis tokoh politik keluarga ini telah berupaya menyusun kekuatan. Gerakan bawah tanah adalah strateginya. Hal ini didukung dengan perobahan politik dan perjalanan waktu. Semakin hari sejak meninggalnya Umar Bin Abdul Azis, kekuasaan Bani Umayyah di damaskus semakin lemah. Khalifah-khalifah pengganti Umar Bin Abdul Azis tidak secakap dan sebijak beliau. Musuh-musuh politik Bani Umayyah semakin meningkatkan perlawanannya. Begitupula dengan Abdullah As Saffah dengan strategi ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasanan kekhalifahan, Abbas berhasil menarik dukungan kaum Syiah untuk mengorbankan perlawanan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Hingga akhirnya kelompok ini berhasil menumbangkan khalifah Marwan II Bin Muhammad sebagai khalifah terakhir Bani Umayyah di Damaskus. Abbas dengan kecerdikannya berhasil membentuk pemerintahan baru dan dia sendiri sebagai pemimpinnya. Naiknya Abbas sebagai khalifah kaum muslimin adalah era bergantinya kekuasaan dari tangan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah. Dalam makalah ini penulis membahas lebih lanjut kiprah dan peranan dari Bani Abbasiyah periode pertama 132 H/ 750 M- 232 H/847 M dalam peradaban Islam. B. Sejarah berdirinya Daulat Bani Abbasiyah. 1. Proses Pembentukan Dinasti Abbasiyah Pergantian pemimpin di kalangan umat Islam setelah khalifah Usman tidak terlepas dari pertikaian yang tajam hingga melahirkan peperangan. Sepeninggal Ali berdirilah Bani Umayyah sebagai penguasa kaum muslim. Dinasti ini hannya mampu bertahan 90 tahun, sejak tahun 661- 750 M. Bani Umayyah digulingkan oleh Bani Abbasiyah. Kejayaan Islam mencapai puncaknya pada dinasti ini berkuasa. Sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Syed Mahmudunnasr bahwa hasil besar yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena landasannnya telah dipersiapkan oleh Umayyah dan Abbasiyah memanfaatkannya. Meskipun demikian menurut penulis keberhasilan Daulah Abbasiyah juga didukung oleh kecermelangan dan kecerdasan khalifah Bani Abbasiyah itu sendiri. Dinamakan daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah. Adapun sebab dia yang disepakati pendiri dinasti Abbasiyah adalah di masanyalah tumbangnya daulah Bani Umayyah. Juga dia sendirilah yang menyatakan tegaknya daulah Bani Abbasiyah di atas reruntuhan daulah Bani Umayyah. Jauh sebelum Abu Abbas sudah dikenal beberapa pelopor tegaknya Daulah Bani Abbasiyah. Seperti Imam Ibrahim yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Bani Abbasiyah. Ia menyusun ke kuatan di Humaymah sebagai pusat perencanaan dan organisasi. Ibrahim akhirnya ditangkap dan dipenjarakan di Harran sebelum dieksekusi, Ia mewasiatkan kepada adiknya Abu al-Abbas untuk menggantikan kedudukannya dan memerintahkannya untuk pindah ke kufah. DI bawah panglima perangnya yang bernama Abu Muslim al-Khurasani, Abu Abbas berhasil menguasai kota khurasan dan menyusul kemenangan demi kemenangan. Akhirnya negeri Syam sebagai ibu kota Bani Umayyah dapat ditaklukkan. Sejak tahun 132 H/ 750 M Daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah pertamanya Abu Abbas as-Asaffah. Walaupun Abu Abbas pendiri daulah ini, pemerintahannya singkat (750-754 M). Pembina sebenarnya daulah ini adalah Abu Ja’far al-Mansur. Untuk mengamankan kekuasaanya, tokoh besar sezamannya yang mungkin menjadi pesaingnya satu persatu disingkirkannya. Abdullah bin Ali, salih bin Ali dan Abu Muslim al-Khurasani adalah tokoh-tokoh penting, mereka tidak dibiarkan hidup. Dari tindakannya menyingkirkan pejabat-pejabat penting yang berjasa dapat dimaklumi bahwa Abu Ja’far tidak menginginkan ada ganjalan dan rongrongan di awal pemerintahannya. Pemerintahan yang baru berdiri di atas rezim lama harus kompak dan solid. Bila ada gerakan-gerakan yang bersebrangan harus segera ditindas sebelum menjadi besar. Bahkan tampak sekali ketakutan Ja’far akan hilangnya pengaruhnya, kalau di sekelilingnya terdapat pejabat yang berpengaruh seperti Abu Muslim al-Khurasani. Tokoh satu ini di samping panglima perang yang tangguh juga memiliki tentara yang loyal padanya. Ditinjau dari proses pembentukannya, sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Philip K. Hitti, bahwa Dinasti Abbasiyah didirikan atas dasar-dasar antara lain: 1. Dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul dari dinasti sebelumnya 2. Dasar universal, tidak berlandaskan atas kesukuan; 3. Dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak diangkat atas dasar keningratan. 4. Dasar kesamaan hubungan dalam hukum bagi setiap masyarakat Islam; 5. Pemerintah bersifat Muslim moderat, Ras Arab hannyalah dipandang sebagai salah satu bagian di antara ras-ras lain; 6. Hak memerintah sebagai ahli waris nabi masih tetap di tangan mereka. C. Faktor Pendukung Berdirinya Dinasti Abbasiyah Di antara situasi situasi yang mendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan menjadi lemah dinasti sebelumnya adalah: 1. Timbullnya pertentangan politik antara Muawiyah dengan pengikut Ali bi Abi Thalib; 2. Munculnya golongan Khawarij, akibat pertentangan politik antara Muawiyah dengan Syiah, kebijakan-kebijakan yang kurang adil; 3. Timbulnya politik penyelesaian khilafah dan konflik dengan cara damai; 4. Adanya dasar penafsiran bahwa keputusan politik harus didasarkan pada Al-Quran dan oleh golongan Khawarij, orang-orang Islam non Arab; 5. Adanya konsep hijrah di mana setiap orang harus bergabung dengan golongan Khawarij yang tidak bergabung dianggapnya sebagai orang yang berada pada dar al-harb, dan hanya golongan Khawarijlah yang berada pada dar al-Islam; 6. Bertambah gigihnya perlawanan pengikut Syiah terhadap Umayyah setelah terbunuhnya Husein bin Ali dalam pertemburan Karbala. D. Khalifah Bani Abbasiyah periode pertama 132 H-232 H/ 750-847 M Bani Abbasiyah sebagai penguasa baru sesudah Bani Umayyah, penguasa dan bangsawannya cendrung hidup mewah. Namun tidak sangkal sebagian khalifah memiliki selera seni yang tinggi serta taat beragama. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan. sehingga dapatlah dikelompokkan masa Daulah Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi dan Bani Seljuk. Adapun khalifah Bani Abbasiyah pada periode pertama adalah: 1. Abu Abbas as-Saffah ( 132-137 H/ 750- 754 M 2. Abu Ja’far al-Mansur 137-159 H/ 754-775 M 3. Al-Mahdi 159-169 H/ 775-785 M 4. Al-Hadi 169-170 H/ 785-786 M 5. Harun ar –Rasyid 170-194 H/ 786-809 M 6. Al-Amin 194-198 H/ 809-813 M 7. Al-Ma’mun 198-218 H/ 813-833 M 8. Al-Mu’tasim 218-228 H/ 833-842 M 9. Al-Wasiq 228-232 H/ 842-847 M E. Kebijakan-kebijakan Daulah Bani Abbasiyah periode pertama 132 -232 H/ 750- 847 M a. Bidang politik dan pemerintahan Pada masa awal tegaknya pemerintahan Daulah Abbasiyah terdapat beberapa kebijakan dalam bidang politik dan pemerintahan: 1. Mengejar dan membunuh pengikut dan keturunan Bani Umayyah. Abbas memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua kelurga khalifah. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu, sampai menyebut dirinya sang pengalir darah atau as-Saffar. Dalam peristiwa itu salah seorang pewaris tahta kekhalifahan Umayyah, yaitu Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol. 2. Menyingkirkan tokoh-tokoh yang berpengaruh di lingkaran Bani Abbasiyah, seperti Abdullah bin Ali dan Abu Muslim Al-Khurasani. Tujuannya untuk menghilangkan pendewaan kalangan prajurit terhadap panglimanya, karena dikhawatirkan dapat merongrong wibawa khalifah. 3. Membasmi pemberontakan. Pada masa Al-Mahdi terjadi pemberontakan di Syria tahun 161 H. Para perusuh dapat dikalahkan dan diampuni. Di Mesopotamia timbul pula pemberontakan yang dipimpin oleh al- Yasykuri yang berusaha merusak beberapa wilayah, namun dapat ditumpas oleh al-Mahdi dan pemimpinya terbunuh. Timbul juga pemberontakan Bani Tamim. Semua pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh khalifah Bani Abbasiyah. Hal ini dapat dimengerti kekuasaan Bani Abbasiyah sudah mulai kuat sejak dipimpin oleh Abu Ja’far al-Mansur. 4. Memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Bagdad. Selain daerahnya banyak pendukungnya, juga adalah untuk menghilangkan pengaruh Bani Umayyah di dalam hati masyarakat. Dengan ibu kota baru akan lahirlah semangat baru dan ide –ide baru serta menghapus kenangan lama dari pemerintahan sebelumnya. 5. Menghapus politik kasta. Salah satu propaganda Bani Abbasiyah adalah menyuarakan persamaan antara orang Arab dan non Arab. Dengan demikian orang non Arab memberikan dukungan kepada Bani Abbasiyah. 6. Merangkul orang-orang Persia, ini dalam rangka politik memperkuat diri. Hal ini tindak lanjut dari kebijakan penghapusan kasta dalam kehidupan masyarakat. Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang diambil dalam program politiknya adalah: 1. Para khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali (orang di luar Arab) 2. Kota Bagdad ditetapkan sebagai ibu kota Negara dan menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi dan kebudayaan; 3. Kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi. 4. Memperluas wilayah Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Dalam upaya melakukan perluasan daerah Bani Abbasiyah bisa langsung ke bentengnya di Asia, seperti kota Malatia, wilayah Coppadacio, dan Sicilia pada tahun 775-785. Ke utara bala tentaranya melintasi Pegunungan Taurus dan mendekati Selat Bosporus, dan berdamai dengan Kaisar Constantine V. Bala tentaranya juga berhadapan dengan bala tentara Turki Khazar di Kaukasus, Daylarni di Laut Kaspia, Turki di bagian lain Oskus, serta India. b. Bidang Ekonomi dan perdagangan Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi. Daerah-daerah pertanian diperluas di segenap wilayah Negara, bendungan-bendungan dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak terjangkau oleh irigasi, dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Juga perdagangan transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Basrhrah menjadi pelabuhan yang penting. Kota Basrah merupakan kota pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari timur dan barat. Kota pelabuhan ini membawa kemajuan bagi perdagangan yang memperoleh penghasilan besar. Dalam bidang perindustrian, Bani Abbas telah membangun pabrik sabun di Basrah, Bagdad dan Samarra. Di samping itu dibangun pabrik kertas, sutra dan sebagainya. Kemudian dibuka pertambangan, seperti perak, emas, tembaga, besi dan sebagainya. Devisa Negara penuh berlimpah-limpah. Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara. Di sektor perdagangan, kota Bagdad di samping sebagai kota politik, agama dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia saat itu. Sedangkan kota Damaskus merupakan kota ke dua. Sungai Tigris dan Efrat mejadi pelabuhan trasmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontak perdagangan internasional ini semenjak khalifah al-Mansur. Pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid kekayaan Negara telah melimpah ruah. Pada masa ini kekayaan Negara sekitar 42 milyar dinar. Ini belum termasuk uang yang berasal dari pajak hasil bumi. Jumlah di atas merupakan hal yang luar biasa pada masa itu. Pengeluaran uang Negara digunakan untuk kemashlahatan Negara, seperti untuk kepentingan sosial, membayar gaji para hakim, gaji para penguasa pemerintah, gaji pegawai Baitul Mal, gaji tentara, mendirikan rumah sakit, biaya pendidikan, gaji dokter dan apoteker serta pendirian pemandian-pemadian umum. Selain itu juga dikeluarkan untuk membiayai pengerukan sungai-sungai, pembuatan irigasi, pengolahan lahan pertanian, biaya orang tahanan dan tawanan serta honor para ulama dan satrawan. c. Bidang sosial Bani Abbasiyah mempelopori penghapusan kasta, yang membedakan antara Arab dan Non Arab. Masa Bani Umayyah akses bagi Non Arab dalam pemerintahan tidak pernah tercapai. Daulah Bani Abbasiyah malah memberi peluang kepada non Arab untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah membuka pintu bagi bangsa Persia untuk duduk dalam pemerintahan. Karenanya periode awal Abbasiyah ini dikenal dengan periode pengaruh Persia pertama. Kebijakan dalam sosial ini adalah salah satu kelebihan Bani Abbasiyah dari pada Bani Umayyah. Di masa Bani Umayyah, sebagian besar golongan Mawali ( non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian Timur lainnya, merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa itu. d. Bidang pendidikan / Ilmu pengetahuan Ilmu pengetahuan sangat berkembang pada masa Bani Abbas. Ada dua kelompok ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbas, yaitu ilmu Naqliah dan ilmu aqliyah. Di antara ilmu-ilmu naqliyah yang maju perkembangannya pada masa ini adalah sebagai berikut: 1. Ilmu Tafsir Pada masa ini muncul dua aliran dalam ilmu tafsir, yaitu aliran Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir bir Ra’yi. Aliran pertama lebih menekankan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran tafsir yang ke dua lebih banyak berpijak pada logika (rasio) dari pada nash. Di antara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari( w.3120 H) . Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkembangan ilmu tafsir sampai saat ini tidak lepas dari ke dua aliran ini. 2. Ilmu Hadits Pada masa ini muncul ulama-ulama hadits yang belum ada tandingannya sampai zaman sekarang. Di antara yang terkenal ialah Imam Bukhari (w. 256). Imam Muslim (w. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadits dengan bukunya Shahih Muslim. 3. Ilmu Fiqh Pada masa ini lahir fuqaha legendaris yang kita kenal, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafei (767- 820 M) dan Imam Ahmad Ibnu Hambal ( 780-855). 4. Ilmu Kalam Pada periode pertama Abbasiyah ini terjadi pembauran umat muslim Arab dengan bangsa –bangsa yang telah tinggi peradabannya., seperti di Iskandariyah Mesir, di Yundisafur dan sebagainya. Oleh karena itu, ulama-ulama dituntut agar dapat memberi keterangan dan penafsiran agama yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan peradaban bangsa-bangsa tersebut. Lahirlah beberapa ulama dari golongan Mu’tazilah, yang lebih meninggikan akal (rasio), seperti Washil bin Atha’ (81-131 H), Abu Huzhail (135-235 H) dan al-Nazham ( 185-221 H). Kontribusi ilmu pengetahuan terlihat pada upaya Harun ar-Rasyid dan al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropongan bintang, perpustakaan terbesar dan dilengkapi dengan lembaga untuk penerjemahan. Kita mengenal Baitul Hikmah sebuah tempat kajian ilmu pengetahuan. Bani Abbasiyah periode awal ini memiliki andil yang besar dalam peradaban Islam dan dunia umumnya. Karena banyak perobahan dan kemajuan yang dicapainya. Sebelum dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre of education. Pada dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan tekhnologi diarahkan ke ma’had. Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan yaitu: 1. Maktab /kutab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama; 2. Tingkat pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi ke luar daerah atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah gurunya. Dengan dua model dua di atas system pendidikan di masa Bani Abbasiyah periode pertama telah melahirkan ulama di kalangan ilmu Hadits, Fiqh dan ilmu kalam. Ulama yang dilahirkan tersebut sampai saat ini menjadi hujjah bagi seluruh umat muslim, seperti imam mazhab yang empat serta Ahli hadits Bukhari dan Muslim. Sementara dalam ilmu Aqliyah dapat kita lihat dalam kemajuan ilmu tekhnologi (sains) . Sesungguhnya kemajuan telah direkayasa oleh ilmuwan Muslim. Di antara Kemajuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Ibrahim al-Farazi ia adalah astronom Muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengkur ketinggian bintang. Di samping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali Ibnu Isa AL- Asturlabi, al- Farghani, al-Battani, Umar al- Khayyam dan al- Tusi 2. Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibnu Rabban al-Tabari. Pada tahun 850 ia mengarang buku Fidaus al-Hikmah. Tokoh lainnya adalah al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina. 3. Ilmu kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir Ibnu Hayyan (721-815 M). 4. Sejarah dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad bin al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad bin Jafar bin Jarir al-Tabari. Kemudian, ahli ilmu bumi yang termasyhur adalah ibnu Khurdazabah (820-913 M). 5. Filsafat Khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun adalah khalifah-khalifah Bani Abbasiyah yang amat tertarik dengan filsafat, terutama filsafat Aristoteles dan Plato. Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan apabila pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah muncul beberapa orang filosuf Islam. Di antaranya adalah Al-Kindi (796 -873 M. e. Pemahaman Agama Periode pertama Abbasiyah ini terlihat para khalifahnya condong pada paham mU’tazilah. Sehingga pada masa Khalifah Al-Makmun, mu’tazilah diakui sebagai mazhab resmi pemerintah. f. Kesenian Di antara khalifah Bani Abbasiyah yang mencintai kesenian adalah Harun ar-Rasyid. Beliau menyukai syair-syair. Di antara penyair di masa ini yang terkenal adalah Abu Nawas, yang pada dasarnya seorang ahli hikmah. Khalifah –khalifah Bani Abbasiyah juga menyukai seni arsitektur. Dengan kemenangan demi kemenangan yang dicapai khalifah sebelum ar-Rasyid dan al-Makmun , sehingga makmurlah Negara serta stabilitas politik yang stabil. Khalifah Harun dan para pembesar Negara menimati kemewahan itu dengan hidup di istana-istana yang indah, seperti istana al-Khuld yang diambil dari nama Jamalul Khuld yang diterangkan dalam al-Quran surat al-Furqan: 15. Istana as-Salam yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an surat al-An’am: 127, yakni Darussalam. Dengan nama-nama itu mereka ingin mewujudkan surga di bumi ini. Memang demikianlah sifat penguasa jika kekayaan Negara melimpah dan stabilitas politik aman, hasrat untuk hidup bersenang-senang akan timbul dengan sendirinya. Hal ini kadangkala membuat penguasa melupakan memperkuat system meliternya. F. Faktor – faktor kemunduran Bani Abbasiyah Kemunduran Bani Abbasiyah dapat dilihat dari berbagai factor, yaitu: a. Faktor politik 1. Ketidak mampuan khalifah dalam mengendalikan khilafah Khalifah tidak mampu mengontrol para wazir, dan justru Khalifah menjadi boneka Wazir-wazir yang berkuasa. 2. Wilayah yang luas dan tidak adanya sikap saling percaya. 3. Penyisihan kaum siah dari jabatan pemerintah 4. Tidak adanya system peralihan yang tegas tentang pewarisan kekuasaan. b. Faktor militer Hidup dalam keadaan ekonomi yang makmur, membuat kaum elit Bani Abbasiyah enggan lagi berperang. Kaum elit hidup bermewah-mewahan. Penguasa Bani Abbasiyah amat tergantung kepada tentara Turki. Organisasi tentara yang bersandar pada kesukuan tersebut, tidak dapat diandalkan untuk menjaga wilayah yang lua tersebut.Terabainya membangun kesatuan militer yang regular membuat Bani Abbasiyah keropos dari pertahanan. c. Faktor ekonomi Para Khalifah dan penjabat pemerintah telah terbiasa hidup dengan kemewah. Kebutuhan terus meningkat . Ongkos dari kemewahan penguasa Bani Abbas dibebankan kepada rakyat melalui pungutan pajak yang tinggi. Ketika kas negara kosong, maka membuat pondasi negara lemah. Gejolak-gejolak terjadi ditengah masyarakat akibat pembebanan pajak yang tinggi tersebut. G. Kejatuhan Bani Abbasiyah Adapun yang menyebabkan jatuhnya dinasti Bani Abbasiyah secara langsung adalah akibat serbuan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Penyerbuan itu terjadi pada tanggal 17 Januari 1258 M. Khalifah Musta’sim tewas pada penyerbuan ini . Kebesaran Bani Abbasiyah selama ini hilang bersamaan dengan aksi bumi hangus tentara Mongol Hulagu Khan. H. Kesimpulan Pemerintahan Bani Abbasiyah periode pertama telah berhasil mempelopori kemajuan peradaban manusia dewasa ini. Dengan lembaga Darul Himaknya, banyak buku-buku dari Yunani diterjemahkan ke dalam bahas Arab. Hal ini memulainya masuknya pengaruh filsafat Yunani, sehingga berkembanglah ilmu filsafat di dunia Islam. Seiring dengan perkembangan filsafat, lahirlah berbagai cabang ilmu pengatahuan seperti ilmu kedokteran, astronomi dan ilmu-ilmu lainnya. Khalifah Abu Ja’far al-Manshur adalah Pembina dan pengokoh sendi-sendi kekuasaan Bani Abbasiyah. Sementara Harun al-Rasyid dan al-Makmun terkenal sebagai khalifah yang menghiasi kekuasaan Bani Abbasiyah dengan berbagai kemakmuran dan kesejahteraan. Sebagai pelanjut kepemimpinan umat Islam sesudah era Bani Umayyah, dengan maksud menyatukan umat, aliran Mu’tazilah ditetapkan sebagai aliran resmi negara. Hal ini dilakukan akibat bersentuhannya kebudayaan Umat Islam dewasa itu dengan kebudayaan bangsa-bangsa yang sudah maju zaman itu.




A.      PENDAHULUAN
Setelah Nabi Muhammad meninggal kepemimpinan beralih kepada sahabat. Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali adalah sahabat terdekat beliau yang pernah memimpin kaum muslim. Di masa kepemimpinan Usman timbul berbagai persoalan politik di kalangan kaum muslim, hingga membawa Syahidnya beliau. Kisruh di dalam masyarakat muslim berlanjut hingga di masa pemerintahan Ali. Pembunuhan Usman  menimbulkan pertentangan antara pihak Ali dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan. Sebagai gubernur Syam dan kerabat terdekat Usman, Muawiyah berupaya memplotisir peristiwa pembunuhan Usman. Melalui ini dia berupaya merebut kekuasaan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Hingga menimbulkan pertumpahan darah yang sangat besar di antara umat Islam seperti peristiwa Perang Shiffin.
Dengan permainan politik yang licik, Muawiyah berhasil menyingkirkan Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah. Kejadian ini memicu perpecahan dalam pengikut Ali antara mendukung dan tidak mendukung kebijakan Ali Bin Abi Thalib yang mau  berunding dengan  Muawiyah Bin Abi Sufyan. Perpecahan dalam pengikut Ali semakin melapangkan jalan Muawiyah menduduki khalifah, memimpin kaum muslimin.
Muawiyah Bin Abi Sufyan adalah pemimpin yang handal, cakap dalam Administrasi dan ahli strategi. Dimasa pemerintahannya dia berhasil memadamkan ketidak senangan tokoh-tokoh yang bersebrangan dengan dirinya. Meskipun demikian diakhir pemerintahannya Muawiyah menyalahi janji yang sudah dibuatnya dengan Hasan Bin Ali Bin Thalib, bahwa kelak jika dia tidak memangku jabatan khalifah, maka urusan kepemimpinan tersebut diserahkan kepada kaum muslimin untuk menentukan pemimpin baru. Muawiyah diusianya yang uzur tersebut menunjuk anaknya Yazid sebagai putra mahkota, yang kelak akan menggantikannya sebagai khalifah. Penunjukkan ini menandai mulainya dinasti Umayyah berkuasa, yang terambil dari nama kakek mereka. Walaupun demikian pencatatan tahun berdirinya Bani Umayyah dihitung sejak naiknya Muawiyah sebagai pemimpin kaum muslimin pada tahun 42 H / 661 M.
Penunjukkan Yazid menimbulkan reaksi dan penentangan yang keras dari kaum muslimin, apalagi Yazid bukanlah orang yang tepat karena akhlaknya yang buruk. Yazid tidak dapat dibendung menjadi khalifah. Dimasanya terjadi pembantaian terhadap cucu Nabi Muhammad, Husein dan keluarganya. Apa yang dilakukan Yazid sangat melukai hati keluarga Rasul dan kaum muslimin. Timbullah berbagai pemberontakan di kalangan muslimin. Dari pengikut Ali timbul pemberontakan Syiah dan Khawarij. Semua pemberontakan tersebut dibasmi dengan kejam oleh penguasa  Bani Umayyah
Perlawanan tiada henti terus dilakukan oleh pendukung Ali Bin Abi Thalib. Dimasa Khalifah Abdul Malik Bin Marwan mulai tidak ada lagi perlawanan. Abdul Malik Bin Marwan berhasil menumpas pemberontakan Abdulllah bin Zubair. Sejak saat itu seluruh lini aspek kehidupan kaum muslimin berhasil dikendalikan oleh  penguasa Bani Umayyah. Kaum muslimin dikekang haknya, hingga tiba di masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis. Dimasa beliau kebebasan dirasakan kaum muslimin. Cacian terhadap sahabat di mimbar –mimbar dilarang. Perubahan politik ini dimanfaatkan oleh berbagai kabilah untuk berupaya merebut kekuasaan. Salah satunya keturunan Abbas bin Abdul Muthalib. Sejak pemerintahan Umar Bin Abdul Azis tokoh politik keluarga ini telah berupaya menyusun kekuatan. Gerakan bawah tanah adalah strateginya. Hal ini didukung dengan perobahan politik dan perjalanan waktu. Semakin hari sejak meninggalnya Umar Bin Abdul Azis, kekuasaan Bani Umayyah di damaskus semakin lemah. Khalifah-khalifah pengganti Umar Bin Abdul Azis tidak secakap dan sebijak beliau. Musuh-musuh politik Bani Umayyah semakin meningkatkan perlawanannya. Begitupula dengan  Abdullah As Saffah dengan strategi ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasanan kekhalifahan, Abbas berhasil menarik dukungan kaum Syiah untuk mengorbankan perlawanan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Hingga akhirnya kelompok ini berhasil menumbangkan khalifah Marwan II Bin Muhammad sebagai khalifah terakhir Bani Umayyah di Damaskus. Abbas dengan kecerdikannya berhasil membentuk pemerintahan baru dan dia sendiri sebagai pemimpinnya. Naiknya Abbas sebagai khalifah kaum muslimin adalah era bergantinya kekuasaan dari tangan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah. Dalam makalah ini penulis membahas lebih  lanjut kiprah dan peranan dari Bani Abbasiyah periode pertama 132 H/ 750 M- 232 H/847 M dalam peradaban Islam.
B.      Sejarah berdirinya Daulat Bani Abbasiyah.

1.      Proses Pembentukan Dinasti Abbasiyah
Pergantian pemimpin di kalangan umat Islam setelah khalifah Usman tidak terlepas dari pertikaian yang tajam hingga melahirkan peperangan. Sepeninggal Ali berdirilah Bani Umayyah sebagai penguasa kaum muslim. Dinasti ini hannya mampu bertahan 90 tahun, sejak tahun 661- 750 M. Bani Umayyah digulingkan oleh Bani Abbasiyah. Kejayaan Islam mencapai puncaknya pada dinasti ini berkuasa. Sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Syed Mahmudunnasr bahwa hasil besar yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena landasannnya telah dipersiapkan oleh Umayyah dan Abbasiyah memanfaatkannya.[1] Meskipun demikian menurut penulis keberhasilan Daulah Abbasiyah juga didukung oleh kecermelangan dan kecerdasan khalifah Bani Abbasiyah itu sendiri. Dinamakan daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah.[2]  Adapun sebab dia yang disepakati pendiri dinasti Abbasiyah adalah di masanyalah tumbangnya daulah Bani Umayyah. Juga dia sendirilah yang menyatakan tegaknya daulah Bani Abbasiyah di atas reruntuhan daulah Bani Umayyah. Jauh sebelum Abu Abbas sudah dikenal beberapa pelopor tegaknya Daulah Bani Abbasiyah. Seperti Imam Ibrahim yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Bani Abbasiyah. Ia  menyusun ke kuatan di Humaymah sebagai pusat perencanaan dan organisasi. Ibrahim akhirnya ditangkap dan dipenjarakan di Harran sebelum dieksekusi, Ia mewasiatkan kepada adiknya Abu al-Abbas untuk menggantikan kedudukannya dan memerintahkannya untuk pindah ke kufah.[3]   DI bawah panglima perangnya yang bernama Abu Muslim al-Khurasani, Abu Abbas berhasil menguasai kota khurasan dan menyusul kemenangan demi kemenangan. Akhirnya negeri Syam sebagai ibu kota Bani Umayyah dapat ditaklukkan. Sejak tahun 132 H/ 750 M Daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah pertamanya Abu Abbas as-Asaffah.[4]
Walaupun Abu Abbas pendiri daulah ini, pemerintahannya singkat (750-754 M). Pembina sebenarnya daulah ini adalah Abu Ja’far al-Mansur. Untuk mengamankan kekuasaanya, tokoh besar sezamannya yang mungkin menjadi pesaingnya satu persatu disingkirkannya.[5] Abdullah bin Ali, salih bin Ali dan Abu Muslim al-Khurasani adalah tokoh-tokoh penting, mereka tidak dibiarkan hidup. Dari tindakannya menyingkirkan pejabat-pejabat penting yang berjasa dapat dimaklumi bahwa Abu Ja’far tidak menginginkan ada ganjalan dan rongrongan di awal pemerintahannya. Pemerintahan yang baru berdiri di atas rezim lama harus kompak dan solid. Bila ada gerakan-gerakan yang bersebrangan harus segera ditindas sebelum menjadi besar. Bahkan tampak sekali ketakutan Ja’far akan hilangnya pengaruhnya, kalau di sekelilingnya terdapat pejabat yang berpengaruh seperti Abu Muslim al-Khurasani. Tokoh satu ini di samping panglima perang yang tangguh juga memiliki tentara yang loyal padanya.
Ditinjau dari proses pembentukannya, sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Philip K. Hitti, bahwa Dinasti Abbasiyah didirikan atas dasar-dasar antara lain:
1.      Dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul dari dinasti sebelumnya
2.      Dasar universal, tidak berlandaskan atas kesukuan;
3.      Dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak diangkat atas dasar keningratan.
4.      Dasar kesamaan hubungan  dalam hukum bagi setiap masyarakat Islam;
5.      Pemerintah bersifat Muslim moderat, Ras Arab hannyalah dipandang sebagai salah satu bagian di antara ras-ras lain;
6.      Hak memerintah sebagai ahli waris nabi masih tetap di tangan mereka.[6]
C.      Faktor Pendukung Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Di antara situasi situasi yang mendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan menjadi lemah dinasti sebelumnya adalah:
1.      Timbullnya pertentangan politik antara Muawiyah dengan pengikut Ali bi Abi Thalib;
2.      Munculnya golongan Khawarij, akibat pertentangan politik antara Muawiyah dengan Syiah, kebijakan-kebijakan yang kurang adil;
3.      Timbulnya politik penyelesaian khilafah dan konflik dengan cara damai;
4.      Adanya dasar penafsiran bahwa keputusan politik harus didasarkan pada Al-Quran dan oleh golongan Khawarij, orang-orang Islam non Arab;
5.      Adanya konsep hijrah di mana setiap orang harus bergabung dengan golongan Khawarij yang tidak bergabung dianggapnya sebagai orang yang berada pada dar al-harb, dan hanya golongan Khawarijlah yang berada pada dar al-Islam;[7]
6.      Bertambah gigihnya perlawanan pengikut Syiah terhadap Umayyah setelah terbunuhnya Husein bin Ali dalam pertemburan Karbala.[8]



D.     Khalifah Bani Abbasiyah periode pertama 132 H-232 H/ 750-847 M
Bani Abbasiyah sebagai penguasa baru sesudah Bani Umayyah, penguasa dan bangsawannya cendrung hidup mewah. Namun tidak sangkal sebagian khalifah memiliki selera seni yang tinggi serta taat beragama.[9] Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan. sehingga dapatlah dikelompokkan masa Daulah Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi dan Bani Seljuk.[10] Adapun khalifah Bani Abbasiyah pada periode pertama adalah:

1.      Abu Abbas as-Saffah         ( 132-137 H/ 750- 754 M
2.      Abu Ja’far al-Mansur        137-159 H/ 754-775 M
3.      Al-Mahdi                           159-169 H/ 775-785 M
4.      Al-Hadi                              169-170 H/ 785-786 M
5.      Harun ar –Rasyid              170-194 H/ 786-809 M
6.      Al-Amin                             194-198 H/ 809-813 M
7.      Al-Ma’mun                        198-218 H/ 813-833 M
8.      Al-Mu’tasim                      218-228 H/ 833-842 M
9.      Al-Wasiq                            228-232 H/ 842-847 M[11]

E.      Kebijakan-kebijakan Daulah Bani Abbasiyah periode pertama 132 -232 H/ 750- 847 M
a.      Bidang politik dan pemerintahan
Pada masa awal tegaknya pemerintahan Daulah Abbasiyah terdapat beberapa kebijakan dalam bidang politik dan pemerintahan:
1.      Mengejar dan membunuh pengikut dan keturunan Bani Umayyah.  Abbas memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua kelurga khalifah. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu, sampai menyebut dirinya sang pengalir darah atau as-Saffar. Dalam peristiwa itu salah seorang pewaris tahta kekhalifahan Umayyah, yaitu Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol.[12]
2.      Menyingkirkan tokoh-tokoh yang berpengaruh di lingkaran Bani Abbasiyah, seperti Abdullah bin Ali dan Abu Muslim Al-Khurasani. Tujuannya untuk menghilangkan pendewaan kalangan prajurit terhadap panglimanya, karena dikhawatirkan  dapat merongrong wibawa khalifah.
3.      Membasmi pemberontakan.
Pada masa Al-Mahdi terjadi pemberontakan di Syria tahun 161 H. Para perusuh dapat dikalahkan dan diampuni. Di Mesopotamia timbul pula pemberontakan yang dipimpin oleh al- Yasykuri yang berusaha merusak beberapa wilayah, namun dapat ditumpas oleh al-Mahdi dan pemimpinya terbunuh. Timbul juga pemberontakan Bani Tamim.[13] Semua pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh khalifah Bani Abbasiyah. Hal ini dapat dimengerti kekuasaan Bani Abbasiyah sudah mulai kuat sejak dipimpin oleh Abu Ja’far al-Mansur.
4.      Memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Bagdad. Selain daerahnya banyak pendukungnya, juga adalah untuk menghilangkan pengaruh Bani Umayyah di dalam hati masyarakat. Dengan ibu kota baru akan lahirlah semangat baru dan ide –ide baru serta menghapus kenangan lama dari pemerintahan sebelumnya.
5.      Menghapus politik kasta.[14] Salah satu propaganda Bani Abbasiyah adalah menyuarakan persamaan antara orang Arab dan non Arab. Dengan demikian orang non Arab memberikan dukungan kepada Bani Abbasiyah.
6.      Merangkul orang-orang Persia, ini dalam rangka politik memperkuat diri.[15] Hal ini tindak lanjut dari kebijakan penghapusan kasta dalam kehidupan masyarakat.

Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang diambil dalam program politiknya adalah:
1.       Para khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali (orang di luar Arab)
2.      Kota Bagdad ditetapkan sebagai ibu kota Negara dan menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi dan kebudayaan;
3.      Kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.[16]
4.      Memperluas wilayah
Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Dalam upaya melakukan perluasan daerah Bani Abbasiyah bisa langsung ke bentengnya di Asia, seperti kota Malatia, wilayah Coppadacio, dan Sicilia pada tahun 775-785. Ke utara bala tentaranya melintasi Pegunungan Taurus dan mendekati Selat Bosporus, dan berdamai dengan Kaisar Constantine V. Bala tentaranya juga berhadapan dengan bala tentara Turki Khazar di Kaukasus, Daylarni di Laut Kaspia, Turki di bagian  lain Oskus, serta India.[17]
b.      Bidang Ekonomi dan perdagangan
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi. Daerah-daerah pertanian diperluas di segenap wilayah Negara, bendungan-bendungan dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak terjangkau oleh irigasi, dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Juga perdagangan transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Basrhrah menjadi pelabuhan yang penting.[18] Kota Basrah merupakan kota pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari timur dan barat. Kota pelabuhan ini membawa kemajuan bagi perdagangan yang memperoleh penghasilan besar. Dalam bidang perindustrian, Bani Abbas telah membangun pabrik sabun di Basrah, Bagdad dan Samarra. Di samping itu dibangun pabrik kertas, sutra dan sebagainya. Kemudian dibuka pertambangan, seperti perak, emas, tembaga, besi dan sebagainya.[19]
Devisa Negara penuh berlimpah-limpah. Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara.
Di sektor perdagangan, kota Bagdad di samping sebagai kota politik, agama dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia saat itu. Sedangkan  kota Damaskus merupakan kota ke dua. Sungai Tigris dan Efrat mejadi pelabuhan trasmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontak perdagangan internasional ini semenjak khalifah al-Mansur.[20] Pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid kekayaan Negara telah melimpah ruah. Pada masa ini kekayaan Negara sekitar 42 milyar dinar. Ini belum termasuk uang yang berasal dari pajak hasil bumi. Jumlah di atas merupakan hal yang luar biasa pada masa itu. Pengeluaran uang Negara digunakan untuk kemashlahatan Negara, seperti untuk kepentingan sosial, membayar gaji para hakim, gaji para penguasa pemerintah, gaji pegawai Baitul Mal, gaji tentara, mendirikan rumah sakit, biaya pendidikan, gaji dokter dan apoteker serta pendirian pemandian-pemadian umum.[21] Selain itu juga dikeluarkan untuk membiayai pengerukan sungai-sungai, pembuatan irigasi, pengolahan lahan pertanian, biaya orang tahanan dan tawanan serta honor para ulama dan satrawan.
c.       Bidang sosial
Bani Abbasiyah mempelopori penghapusan kasta, yang membedakan antara Arab dan Non Arab. Masa Bani Umayyah akses bagi Non Arab dalam pemerintahan tidak pernah tercapai. Daulah Bani Abbasiyah malah memberi peluang kepada non Arab untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah membuka pintu bagi  bangsa Persia untuk duduk dalam pemerintahan. Karenanya periode awal Abbasiyah  ini dikenal dengan  periode pengaruh Persia pertama.[22] Kebijakan dalam sosial ini adalah salah satu kelebihan Bani Abbasiyah dari pada Bani Umayyah. Di masa Bani Umayyah, sebagian besar golongan Mawali ( non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian Timur lainnya, merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa itu.[23]
d.      Bidang pendidikan / Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan sangat berkembang pada masa Bani Abbas. Ada dua kelompok ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbas, yaitu ilmu Naqliah dan ilmu aqliyah.[24] Di antara ilmu-ilmu naqliyah yang maju perkembangannya pada masa ini adalah sebagai berikut:
1.      Ilmu Tafsir
Pada masa ini muncul dua aliran dalam ilmu tafsir, yaitu aliran Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir bir Ra’yi. Aliran pertama lebih menekankan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran tafsir yang ke dua lebih banyak berpijak pada logika (rasio) dari pada nash. Di antara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari( w.3120 H)[25]. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkembangan ilmu tafsir sampai saat ini tidak lepas dari ke dua aliran ini.
2.      Ilmu Hadits
Pada masa ini muncul ulama-ulama hadits  yang belum ada tandingannya sampai zaman sekarang. Di antara yang terkenal ialah Imam Bukhari (w. 256). Imam Muslim (w. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadits dengan bukunya Shahih Muslim.[26]
3.      Ilmu Fiqh
Pada masa ini lahir fuqaha legendaris yang kita kenal, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafei (767- 820 M) dan Imam Ahmad Ibnu  Hambal ( 780-855).[27]
4.      Ilmu Kalam
Pada periode pertama Abbasiyah ini terjadi pembauran umat  muslim Arab dengan bangsa –bangsa yang telah tinggi peradabannya., seperti di Iskandariyah Mesir, di Yundisafur dan sebagainya. Oleh karena itu, ulama-ulama dituntut agar dapat memberi keterangan dan penafsiran agama yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan peradaban bangsa-bangsa tersebut. Lahirlah beberapa ulama dari golongan  Mu’tazilah, yang lebih meninggikan akal (rasio), seperti Washil bin Atha’ (81-131 H), Abu Huzhail (135-235 H) dan al-Nazham ( 185-221 H).[28]
Kontribusi ilmu pengetahuan terlihat pada upaya Harun ar-Rasyid dan al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropongan bintang, perpustakaan terbesar dan dilengkapi dengan lembaga untuk penerjemahan.[29]  Kita mengenal Baitul Hikmah sebuah tempat kajian ilmu pengetahuan. Bani Abbasiyah periode awal ini memiliki andil yang besar dalam peradaban Islam dan dunia umumnya. Karena banyak perobahan dan kemajuan yang dicapainya. Sebelum dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre of education. Pada dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan tekhnologi diarahkan ke ma’had. Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan yaitu:
1.      Maktab /kutab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama;
2.      Tingkat pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi ke luar daerah atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah gurunya.[30]
Dengan dua model dua di atas system pendidikan di masa Bani Abbasiyah periode pertama telah melahirkan ulama di kalangan ilmu Hadits, Fiqh dan ilmu kalam. Ulama yang dilahirkan tersebut sampai saat ini menjadi hujjah bagi seluruh umat muslim, seperti imam mazhab yang empat serta Ahli hadits Bukhari dan Muslim.
Sementara dalam ilmu Aqliyah dapat kita lihat dalam kemajuan ilmu tekhnologi (sains) . Sesungguhnya kemajuan telah direkayasa oleh ilmuwan Muslim. Di antara Kemajuan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan oleh  Muhammad Ibnu Ibrahim al-Farazi  ia adalah astronom Muslim  pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengkur ketinggian bintang. Di samping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali Ibnu Isa AL- Asturlabi, al- Farghani, al-Battani, Umar al- Khayyam dan al- Tusi[31]
2.      Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibnu Rabban al-Tabari. Pada tahun 850 ia mengarang  buku Fidaus al-Hikmah. Tokoh lainnya adalah al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina.[32]
3.      Ilmu kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir Ibnu Hayyan (721-815 M).[33]
4.      Sejarah dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad bin al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad bin Jafar bin Jarir al-Tabari. Kemudian, ahli ilmu bumi yang termasyhur adalah ibnu Khurdazabah (820-913 M).
5.      Filsafat
Khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun adalah khalifah-khalifah Bani Abbasiyah yang amat tertarik dengan filsafat,  terutama filsafat Aristoteles dan Plato. Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan apabila pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah muncul beberapa orang filosuf Islam. Di antaranya adalah Al-Kindi (796 -873 M.
e.      Pemahaman Agama
Periode pertama Abbasiyah ini terlihat para khalifahnya condong pada paham mU’tazilah. Sehingga pada masa Khalifah Al-Makmun, mu’tazilah diakui sebagai mazhab resmi pemerintah.[34]
f.        Kesenian
Di antara khalifah Bani Abbasiyah yang mencintai kesenian adalah Harun ar-Rasyid. Beliau menyukai syair-syair. Di antara penyair di masa ini yang terkenal adalah Abu Nawas, yang pada dasarnya seorang ahli hikmah.[35]
Khalifah –khalifah Bani Abbasiyah juga menyukai seni arsitektur. Dengan kemenangan demi kemenangan yang dicapai khalifah sebelum ar-Rasyid dan al-Makmun , sehingga makmurlah Negara serta stabilitas politik yang stabil. Khalifah Harun dan para pembesar Negara menimati kemewahan itu dengan hidup di istana-istana yang indah, seperti istana al-Khuld yang diambil dari nama Jamalul Khuld yang diterangkan dalam al-Quran surat al-Furqan: 15. Istana as-Salam yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an surat al-An’am: 127, yakni Darussalam.[36] Dengan nama-nama itu mereka ingin mewujudkan surga di bumi ini. Memang demikianlah sifat penguasa jika kekayaan Negara melimpah dan stabilitas politik aman, hasrat untuk hidup bersenang-senang akan timbul dengan sendirinya. Hal ini kadangkala membuat penguasa melupakan memperkuat system meliternya.
F. Faktor – faktor kemunduran Bani Abbasiyah
  Kemunduran Bani Abbasiyah dapat dilihat dari berbagai factor, yaitu:
a. Faktor politik
1.      Ketidak mampuan khalifah dalam mengendalikan khilafah
Khalifah tidak mampu mengontrol para wazir, dan justru Khalifah menjadi boneka Wazir-wazir yang berkuasa.
2.      Wilayah yang luas dan tidak adanya sikap saling percaya.
3.      Penyisihan kaum siah dari jabatan pemerintah
4.      Tidak adanya system peralihan yang tegas tentang pewarisan kekuasaan.[37]
b.Faktor militer
Hidup dalam keadaan ekonomi yang makmur, membuat kaum elit Bani Abbasiyah enggan lagi berperang. Kaum elit hidup bermewah-mewahan. Penguasa Bani Abbasiyah amat tergantung kepada tentara Turki. Organisasi tentara yang bersandar pada kesukuan tersebut, tidak dapat diandalkan untuk menjaga wilayah yang lua tersebut.Terabainya membangun kesatuan militer yang regular membuat Bani Abbasiyah keropos dari pertahanan.
c.  Faktor ekonomi
Para Khalifah dan penjabat pemerintah telah terbiasa hidup dengan kemewah. Kebutuhan terus meningkat[38]. Ongkos dari kemewahan penguasa Bani Abbas dibebankan kepada rakyat melalui pungutan pajak yang tinggi. Ketika kas negara kosong, maka membuat pondasi negara lemah. Gejolak-gejolak terjadi ditengah masyarakat akibat pembebanan pajak yang tinggi tersebut.


G. Kejatuhan Bani Abbasiyah
Adapun yang menyebabkan jatuhnya dinasti Bani Abbasiyah secara langsung adalah akibat serbuan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Penyerbuan itu terjadi pada tanggal 17 Januari 1258 M. Khalifah Musta’sim tewas pada penyerbuan ini[39]. Kebesaran Bani Abbasiyah selama ini hilang bersamaan dengan aksi bumi hangus tentara Mongol Hulagu Khan.

H. Kesimpulan
Pemerintahan Bani Abbasiyah periode pertama telah berhasil mempelopori kemajuan peradaban manusia dewasa ini. Dengan lembaga Darul Himaknya, banyak buku-buku dari Yunani diterjemahkan ke dalam bahas Arab. Hal ini memulainya masuknya pengaruh filsafat Yunani, sehingga berkembanglah ilmu filsafat di dunia Islam. Seiring dengan perkembangan filsafat, lahirlah berbagai cabang ilmu pengatahuan seperti ilmu kedokteran, astronomi dan ilmu-ilmu lainnya.
Khalifah Abu Ja’far al-Manshur adalah Pembina dan pengokoh sendi-sendi kekuasaan Bani Abbasiyah. Sementara Harun al-Rasyid dan al-Makmun terkenal sebagai khalifah yang menghiasi kekuasaan Bani Abbasiyah dengan berbagai kemakmuran dan kesejahteraan.
Sebagai pelanjut kepemimpinan umat Islam sesudah era Bani Umayyah, dengan maksud menyatukan umat, aliran Mu’tazilah ditetapkan sebagai aliran resmi negara. Hal ini dilakukan akibat bersentuhannya kebudayaan Umat Islam dewasa itu dengan kebudayaan bangsa-bangsa yang sudah maju zaman itu.


[1] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h.44.
[2] Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 1994), h.4
[3] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h.88
[4] Ensiklopedi Islam, Op.Cit, h.4
[5] Ibid., h.5
[6] Ajid Thohir, Op.Cit., h. 44
[7] Noercholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1989). H.12-13
[8] Ajid Thohir, Op.Cit., h. 45
[9] Abu Su’ud, Islamologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta,2003), h. 72
[10] Ibid., h, 73
[11] Ensiklopedi Islam., Op.Cit., h.5
[12] Abus Su’ud, Op.Cit., h. 72
[13] Ali Mofrodi, Op.Cit., h. 92
[14] Ajid Rosidi, Op.Cit., h. 53
[15] Ibid
[16] A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.213
[17] Abu Su’ud., Op.Cit., h.75
[18] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: PT RajaGrafindo, 1993), h. 52
[19] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI- Press, 1985), h. 68
[20] Ajid, Rosidi., Op.Cit., h. 55
[21] Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002), h.17
[22] Badri Yatim., Op.Cit., h.49, h.49
[23] W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam; Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara  Wanaca Yogya, 1990), h.28
[24] Maidir Harun, Firdaus, Op.Cit. h. 19
[25] Ibid., 20
[26] Ibid.,21
[27] Ajid Thohir, Op.Cit., h.51
[28] Maidir Harun, Firdaus, Op.Cit., h22
[29] Ajid Thohir, Op.Cit., h.50
[30] Hassan Ibrahim Hassan, Tarekh Al-Islam II, (Kairo: Maktabah al-Nahdhoh al-Misriyah, 1965), h. 129
[31] A. Hasymy, Op.Cit., h.212
[32] A. Raziq Naufal, Umat Islam dan Sains Modern, ( Bandung: Husaini,1978), h. 47
[33] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UI Press, 1985), h.62
[34] Maidir Harun, Firdaus, Loc.Cit., 22
[35] Abu, Su’ud, Op.Cit., h.78
[36] Ali Mufrodi, Op. Cit, h. 94
[37] Maidir Harun, Firdaus, Op. Cit h. 44-53
[38] Ibid
[39] Ibid, h. 59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar