Rabu, 15 Mei 2013

KERAJAAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN TURKI USMANI PERIODE II (1517 -1924)




A.    Kemunduran dan Kejatuhan Kerajaan Turki Usmani
1.      Proses Kemunduran
Sebagaimana kerajaan-kerajaan yang pernah tumbuh dan berkembang di dunia Islam, tidak terlepas dari proses pertumbuhan, perkembangan, mencapai puncak kejayaan, lalu akhirnya mangalami kemunduran dan kemusian disusul dengan kehancuran. Demikian juga dengan kerajaan turki usmani yang diproklamirkan oleh Usman I, menjadi negara adikuasa pada masa Sultan Muhammad II (al-Fatih), dan mencapai puncak kejayaannya dimasa Sultan Sualiman al-Qanuni. Kemudian Kerajaan Turki Usmani mengalami kemunduran dan pada akhirnya membawa kehancuran.
Kejatuahan Kerajaan Turki merupakan proses sejarah panjang dan tidak terjadi secara tiba-tiba. Dalam sejarahnya selama lima abad (akhir abad ke tiga belas hingga awal abad kesembilan belas) Kerajaan Turki Usmani mengalami pasang surut. Disatu sisi sebuah system politik yang diwarisi dari pendahulunya, Turki Saljuk, yaitu menjadikan Kerajaan adalah milik keluarga kerajaan dan menjadikan sultan sebagai sentral kekuatan politik, membuat kerajaan ini begitu rentan terhadap factor-faktor kejatuhan sebauah dinasti.seorang sultan yang lemah saja sudah dapat membuka jalan bagi proses kejatuhan kerajaan. Meskipun demikian seorang sultan yang kuat, pada masa pemerintahannya juga mampu memperlambat kehancuran suatu dinasti.
Bernard Lewis  seperti yang dikutip oleh Firdaus, M.Ag mengatakan untuk menentukan sejak kapan Kerajaan Turki Usmani mengalami kemunduran, nempaknya Sejarawan  sepakat mengatakan awal kemunduran bermula sejak wafatnya Sultan Salim II (1566).[1] Sesudah Sultan Sulaiman Yang Agung Kerajaan Turki Usmani tidak lagi mempunyai sultan-sultan yang dapat diunggulkan. Sejak pemerintahannya, kekuasaan Turki Usmani sudah mulai diungguli oleh kekuatan Eropa secara perlahan-lahan. Kerajaan Turki Usmani mulai mengalami fase kemunduran pada abad XVII.[2]
Pada akhir abad XVII Kerajaan Turki Usmani secara “bertubi-tubi “ menderita kekalahan dari pasukan Jerman, Polandia dan Rusia. Akibat dari kekalahan-kelahan yang dialami ini memaksa Kerajaan Turki Usmani untuk mengadakan perjanjian atau damai dengan negara-negara  Eropa. Perjanjian ini terjadi pada tahun 1699 yang dinamakan dengan perdamaian Karlowith. Peristiwa ini sungguh sangat menyakitkan hati orang-orang Turki Usmani karena dalam isi perdamaian itu, Turki Usmani harus rela melpaskan Translavia (wilayah Austria), Saladonia dan Karawatai serta Ukraina. Azov sendiri dapat diduduki oleh Kaisar Rusia di bawah pimpinan Peter Yang Agung pada tahun 1696 M.[3]
Kerajaan Turki  Usmani kembali harus kehilangan beberapa wilayahnya dan merelakan campur tangan kekuatan luar ke dalam wilayah yrisdiksinya. Berbagai kekalahan yang menimpa kerajaan Turki Usmani dalam operasi militer sebagai upaya merebut kembali wilayah yang hilang akibat perjanjian karlowith, memaksa Nevseherli Damat Ibrahim Pasya, penasehat Sultan Ahmad III, untuk mengakhiri peperangan pada tanggal 26 Agustus 1717. Perjanjian Passarowitz ditandatangani pada tanggal 21 Juli 1718.  Pada perjanjian itu Turki harus melepaskan Belgrade dan Senendria, wilayah utara Timok dan Una kepada imperium Habsburg, Sava dab Drina ke tangan Austria, dan Habsburg diperbolehkan membela kepentingan katolik di wilayah yurisdiksi Sultan.[4]
Rusia merupakan ancaman yang serius bagi itegrasi Kerajaan Turki Usmani, apalagi ketika Rusia mengadakan aliansi dengan Austria pada tahun 1726 M. dan Rusia segera menyerbu kerajaan Turki Usmani. Azov yang pernah direbut oleh Rusia pada tahun 1696 M, direbut kembali oleh Turki Usmani di bawah pimpinan sultan Mustafa II pada tahun 1726M. akan tetapi dapat direbut kembali oleh Rusia. Kebjakan Peter Yang Agung dilanjutkan oleh penggantinya  yang bernama Catherina Agung dengan lebih ulet dan sunggu-sungguh. Catherina berperang dengan Turki Usmani pada tahun 1768 M, ia memperoleh kemenangan baik di darat maupun laut.[5] George Lenczoski seperti yang dikutip oleh Syafiq A. Mughni mengatakan bahwa operasi angkatan laut Rusia memperagakan suatu armada yang mengepung Eropa hingga laut Medeteriana, serta operasi mengentarkan seluruh dunia.[6]
Perang antara kerajaan Turki Usmani dengan Rusia berakhir pada tahun 1777 M. dengan ditandai perjanjian Kinarca.  Perjanjian ini oleh Muhammad Farid digambarkan sebagai berikut : “yang penting dari perjanjian kinarca adalah Kerajaan Turki Usmani harus menyerahkan benteng-bentengnya yang berada di laut Hitam  diantaranya adalah benterng Azov”.[7]
Dengan demikian, berhasillah Rusia memenuhi hasratnya untuk menjadikan perairan laut hitam sebagai pangkalan militernya. Kemudian dari isi perjanjian tersebut juga dinyatakan bahwa armada laut Rusia mendapat izin dari pemerintah Turki Usmani untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Putih (Laut Tengah). Kemudian Kirman memerdekakan diri dari Turki Usmani, Rusia diizinkan membangun gereja di Asitnah dan menjadi pelindung orang-orang Kristen Orthodox yang berdomisili di wilayah Turki Usmani. Para Jemaat Kristen yang akan menunaikan ibadah Haji ke Palestina harus dibebaskan dari membayar pajak. Di samping itu, Turki Usmani harus memperhatikan kesejahteraan para pendeta dan umat Kristen. Pemerintah Turki Usmani harus membayar ganti rugi peperangan kepada Rusia yang tidak sedikit jumlahnya secara beransur-ansur selama tiga tahun.[8]  Berdasarkan kenyataan tersebut menunjukan bahwa kedaulatan Pemerintahan Kerajaan Turki Usmani tidak penuh lagi dalam mengurusi kerajaannya.
Meskipun telah ada perjanjian  damai, ternyata Rusia tetap menaklukkan dan merebut negeri-negeri yang semula dikuasai dan ditinggalkan oleh oleh oran-orang Turki, Tartar dan muslim lainnya. Inilah yang menyebabkan timbulnya kembali peperangan antara Rusia dengan Turki Usmani pada tahun 1792 M. akan tetapi Turki Usmani tetap mengalami kekalahan, dengan ini terpaksalah ia mengakui pendudukan Rusia atas Kerajaan Tartar.[9]
Pada tahun 1801 kekuatan Prancis dikalahkan oleh Inggris  yang kemudian mengembalikan  kekuasaan Turki atas wilayah Mesir. Pada tahun berikutnya, Mesir kembali menjadi wilayah yurisdiksi sultan. Evakuasi kekuatan militer Perancis dari wilayah Mesir jelas memperbaiki hubungan kedua belah pihak yang telah terjalin lama, dan oleh sebab itu Napoleon diperbolehkan mempergunakan “the porte” sebagai kekuatan tambahan ketika Perancis berkonfrontaso dengan Rusia. Bagi Turki konfrontasi jelas menguntungkan, sebab baginya Rusia merupakan ancaman politik yang telah menganeksasi beberapa wilayahnya melalui perjanjian Kucuk Kaynarca, 1774. Akan tetapi konfontasi Rusia – Perancis berubah menjadi aliansi politik ketika Tsar Alexander dan Napoleon Bonaparte menandatangani perjanjian Tilsit pada 7 Juli 1807. Pada saat itu Perancis berkeinginan untuk membendung dominasi Inggris di benua Eropa. Perancis pada awalnya memaksa Alexander untuk tetap menghormati perjajian yang telah dibuat bersama Turki sebelumnya. Tetapi setelah itu Turki kembali terjebak dan konspirasi politik besar bangsa Eropa. Oleh sebab itu Turki melakukan negosiasi dengan Rusia atas mediasi Perancis di Slobosia, 21 Maret 1808, yang mengharuskan Rusia meninggalkan Moldova dan Wallachia, sedangkan Turki akan meninggalkan selat Danibe dan hanya meletakkan tentaranya di Ismailiya, Ibrail dan Galatz. Akan tetapi Rusia ingkar janji dengan tidak mau meninggalkan Moldova  kecuali atas perintah Tsar lansung. Apalagi Tsar dapat jaminan lesan dari Napoleon bahwa ia akam membiarkan Rusia bila berkeinginan menguasai kerajaan-kerajaan kecil. Akhirnya meletuslah perang selama lima tahun dan berakhir dengan perjanjian Bukares, Mei 1812, dan kerugian ada dipihak Turki. Lewat perjanjian tersebut Rusia dapat mencaplok Bassarabia.[10]
Dalam upaya menjaga kelansungannya, Turki Usmani semakin bertambah ketergantungannya terhadap keseimbangan kekuatan bangsa-bangsa Eropa. Hingga tahun 1878 Ingris dan Rusia saling berebut pengaruh, meskipun keduanya menghindari keterlibatan lansung dalam kerajaan Turki Usmani dan perseteruannya. Meskipun demikian , antara tahun 1878 hingga 1914 sebagian besar wilayah di semenanjung Balkan menjadi wilayah merdeka dari kekuasaan Turki, dan Inggris, Rusia dan Austria-Hungaria mengusai beberapa bekas wilayah kekuasaan Turki tersebut.
Kondisi ini semakin sulit dan rumit, dimana setelah kerajaan Turki Usmani bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia I pada tahun 1914. Keterlibatan Turki Usmani dalam Perang Dunia I dan bergabung dengan Jerman, bukan tanpa alas an. Alas an itu antara lain pengaruh Jerman di Kerajaan Turki Usmani melebihi pengaruh Eropa lainnya. Hal ini tanpak dalam bidang militer. Pada tahun 1914 tentara Turki Usmani dilatih oleh Jerman yang terdiri dari 42 perwira di bawah pimpinan Jenderal Liman Von Sanders. Disamping itu Turki Usmani berharab dengan bergabung bersama Jerman, Turki Usmani dapat mengambil kembali wilayah-wilayahnya yang dicaplok oleh Rusia. Akan tetapi ini hanya berakibat fatal untuk Turki Usmani. Wilayah Turki Usmani semakin lama semakin kecil karena diperebutkan  oleh orang-orang Eropa.[11]  
Dalam Perang Dunia I Turki Usmani mengalami kekalahan, maka diadakan perjanjian Serves yang membuat Turki Usmani harus kehilangan wilayahnya. Dengan demikian, maka melalui perjanjian Serves ini, pada garis besarnya tercapailah segala ambisi negara-negara Eropa yang selama ini tersimpan dalam dada, terutama sekali Yunani karena dari hasil ini, ia berhasil memperoleh sebagian besar wilayah yang dikuasai oleh Turki.[12] Demikianlah proses kemunduran yang terjadi pada kerajaan Turki Usmani.

2.      Faktor-Faktor Kejatuah Turki Usmani
a.       Faktor Internal
1). Kelemahan Para Sultan dan Sistem Birokrasi
Nampaknya para sejarawan sepakat bahwa kelemahan para sultan dan system birokrasi Kerajaan Turki Usmani menjadi penyebab kejatuhannya. Seorang sultan yang lemah cukup member peluang bagi kejatuhan kerajaan Turki Usmani. Sebaliknya seorang sultan yang cakap juga mampu memperlambat proses kejatuhan pada system politik kerajaan.
Pada masa KerajaanTurki Usmani, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman I (1520-1566), tanda-tanda keruntuhan juga sudah mulai tampak ke permukaan. Pandangan tersebut lebih disebabkan oleh ketergantungan dinasti ini kepada kesinambungan kekuatan politik seorang sultan. Para sultan terdahulu telah begitu terlatih untuk menjadi seorang penguasa dan meniti puncak kekuasaan dengan terlebih dahulu menunjukkan kemampuannya  dalam mengendalikan persoalan pemerintahan dengan pengalaman yang mereka peroleh pada saat terlibat aktif dalam administrasi local dan ekspedisi militer. Mereka memperoleh kekuasaan dengan meyakinkan para pengikutnya dengan memasukkan kelas budak ke dalam struktur pemerintahan dan member mereka posisi yang berhadapan dengan para aristocrat Turki. Dengan memberikan ini sebagai kelas penguasa (rulling class) maka ada bahwa kejatuah Turki Usmani adalah akibat masuknya kelas budak ini ke dalam system birokrasi kerajaan.[13]
Setelah Sultan Sulaiman I, Kerajaan Turki Usmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadian, jiwa atau watak kepemimpinan serta tidak sesuai dengan tuntutan pada masa itu. Mereka juga kurang terlibat lansung dalam administrasi negara, dan juga dalam peperangan melawan musuh, mereka banyak larut dalam kehidupan istana.[14]
Akibat lemahny a para sultan maka menimbulkan pemberontakan-pemberontakan dalam negeri sediri, seperti di Suriah di bawah pimpinan Kurdi Jambulat, di Lebanon di bawah pimpinan Drize Amir Fakhruddin. Dengan negara-negar tetangga terjadi peperangan seperti Vinitia (1645-1664)  dan dengan syah Abbas dari Persia. Tentara Turki Usmani (Jenissari) juga memberontak, ini berakibat jelek sekali bagi kerajaan Turki Usmani.[15]
2). Kemunduran dalam bidang ekonomi
Turki Usmani pada masa kejayaannya menguasai tiga benua dan dua lautan yang merupakan negara adikuasa dalam bidang militer dan ekonomi. Hal ini disebabkan karena militernya kuat dan militernya mantap. Adapun sumber pemasukan perekonomiannya antara lain dari pajak, upeti dan dari wilayah-wilayah yang ditaklukkannya. Kondisi ini berubah setelah kerajaan Turki Usmani berada dalam keadaan mundur dan lemah. Pajak-pajak dari negara bawahan sudah sangat jauh berkurang. Hal ini karena banyak wilayah tersebut yang melepaskan diri dari kekuasaan pusat.
Kemampuan Turki Usmani untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mulai melemah, pada saat yang sama bangsa Eropa telah mengembangkan struktur kekuatan ekonomi dan keuangan bagi kepentingan mereka sendiri. Munculnya kekuatan ekonomi dan keuangan baru dibelahan Eropa merupakan buah dari perkembangan ekonomi. Ekspansi bangsa Eropa ke benua Amerika dan Afrika merupakan harapan akan bertambahnya kemakmuran dan perangkat yang dibutuhkan untuk mengembangkan sayap perdagangan kebelahan dunia sebelah timur. Rute perdagangan tersebut dengan sendirinya mematahkan tradisi dan regulasi yang diterapkan oleh kekuatan yang memegang wilayah Timut Tengah.[16]
Ditemukannya benua Amerika, telah menggeser jalur perdagangan ke Samudera Atlantik dan ke laut terbuka  di sekeliling Afrika Selatan dan Asia Selata. Laut Tengah dan Timur Tengah, sekalipun dalam beberapa hal masih berpengaruh namun sudah kehilangan kedudukan ekonomi. Perkembangan dibelahan dunia lain telah menempatkan mereka pada kedudukan kelas dua diantara tiga benua yaitu Asia, Afrika, dan Eropa. Dengan dibukanya rute Samudera, maka laut Tengah dan Timur Tengah tidak dipersoalkan lagi. Kerajaan Turki Usmani sebagai kekuatan Laut Tengah dan Timur Tengah, akhirnya mulai menurun dari kedudukan yang tinggi.[17]
3). Wilayah yang Luas dan Ledakan Penduduk
Wilayah Kerajaan Turki Usmani ketika berada pada puncak kejayaannya meliputi Asia Kecil, Armenia, Irak, Suria, Hijaz, serta Yaman di Asia, Mesir, Libia, Tunisia, serta AlJazair di Afrika dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.[18] Wilayah yang sangat luas itu dihuni oleh penduduk yang beraneka ragam baik dari segi agama, ras maupun adat istiadat. Untuk mengatur wilayah yang besar ini, pada posisi yang lemah sangatlah sulit sekali.
Penduduk Kerajaan Turki Usmani pada abad ke eman belas bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Problem kependudukan pada saat itu lebih banyak disebabkan oleh tingkat pertambahan penduduk yang sedemikian tinggi dan ditam bah menurunnya angka kematian akibat masa damai dan aman. Untuk mengatur penduduk  yang beraneka ragam dan tersebar luas di tiga benua diperlukan suatu organisasi pemerintahan yang baik dan teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik Kerajaan Turki Usmani hanya akan menanggung beban  yang sangat berat akibatnya.  Perbedaan ras, bangsaq dan agama juga memicu mengantarkan pemberontakan dan peperangan yang akhirnya menjadi kemunduran bagi Kerajaan Turki Usmani.[19]
4). Budaya Korupsi Para Sultan
Pada umumnya moral pejabat negara di Kerajaan Turki Usmani tidak baik, menipulasi dan kolusi merupakan suatu pekerjaan yang lumrah dan sering mereka lakukan. Oleh karena itu terjadilah jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan Turki Usmani. Untuk dapat  menduduki Kursi Shadrul al-A’zam seorang calon, harus memberikan sekian banyak hadiah sebagai sogokan kepada sultan dan para keluarganya.[20]
Demikian juga Gubernur sebagai kepada pemerintahan di propinsi. Seorang calon gubernur tidak akan dipilih dan diangkat sebelun ia memberikan sogokan yang banyak kepada Shadrul al-A’zam.  Oleh kerena pengangkatan seorang calon pejabat bukan berdasarkan keahlian dan keterampilannya, bahkan jabatan itu diraih dengan jalan menyogok, maka tidak mengherankan seorang gubernur hanya berfikir bagaimana ia dapat mengembalikan dan memperolleh kekayaan sebanyak-banyaknya dan masalah rakyat bukan menjadi persoalan yang mereka utamakan.[21]
5)  Pengaruh Para Isteri-isteri Sultan
Setelah pemerintahan Sultan Muhammad II, istana Kerajaan Turki Usmani selalu terjadi kecemburuan, intrik dan percekcokan karena pengaruh isteri-isteri sultan berkebangsaan Eropa. Melalui mereka raja-raja Eropa dapat mengirim mata-mata masuk ke istana kerajaan. Di samping itu, istri-istri sultan terdiri dari berbagai ragam wanita dengan kulit dan kasta yang berbeda bahkan ada juga yang di beli oleh sultan. Dengan demikian tidak jarang isteri-isteri sultan tersebut yang memberikan informasi penting kepada musuh. Oleh karena itu banyak rencana yang dilakukan oleh kerajaan selalu mengalami kegagalan karena sudah diketahui oleh musuh terlebih dahulu. Tentu saja mereka sudah mempersiapkan taktik dan strategi untuk mengantisipasi rencana yang dilakukan oleh Kerajaan Turki Usmani.[22]
6). Keterbelakangan dalam Industri Perang
Pada masa Turki Usmani kemerosotan kaum muslimin tidak hanya terbatas pada bidang pengetahuan saja, melainkan dalam segala bidang termasuk dalam bidang industry perang, padalah keunggulan Turki Usmani pada bidang itu pada masa sebelumnya telah diakui oleh seluruh dunia. Tidak berkembangnya industry sangat berpegaruh terhadap kerajaan Turki Usmani yang sangat mengandalkan militer sebagai tulang punggu kerajaan.
Sementara bangsa Eropa berhasil menciptakan senjata baru, melancarkan modernisasinya angkatan perangnya serta memantapkan organisasinya, sehingga pasukannya mampu melancarkan pukulan terhadap kerajaan Turki Usmani pada tahun 1774 M.[23]
7). Munculnya Gerakan Nasionalisme
Dari sekian banyak factor yang menyebabkan kemunduran bagi Kerajaan Turki Usmani adalah tumbuhnya paham nasionalis bangsa-bangsa yang berada di bawah kuasa Turki Usmani. Berbagai suku bangsa yang hidup dibawah pemerintahan Turki Usmani mulai terusik nasionalismenya.  Bangsa Armenia dan Yunani yang beragama Kristen berpaling ke Barat, mohon bantuan bagi kemerdekaan bangsa dan tanah airnya. Bangsa Kurdi dipengunungan dan bangsa Arab di padang pasir dan di lembah-lembah, mereka juga sama bangkit hendak melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Turki Usmani.[24]
Paham nasionalis yang muncul di wilayah-wilayah Kerajan Turki Usmani tidak terlepas dari persentuhan umat Islam dengan orang-orang Barat. Hal ini dapat dibuktikan ketika Napolion melakukan ekspedisi,  dimana is mengembangkan ide kebangsaan dengan menyatakan bahwa orang Perancis merupakan suatu bangsa (nation)[25]
Dengan adanya paham nasionalis ini menimbulkan kesadaran rakyat akibat dari tekanan pemerintah, bahkan mereka sebenarnya bukanlah orang-orang Turki, maka untuk itu mereka berusaha untuk bisa melepaskan diri dari kerajaan Turki  Usmani.
b.      Faktor Eksternal
Kebangkitan Eropa
Ketika kemunduran Kerajaan Turki Usmani pada periode pertengan dari sejarah Islam, negara-negara Eropa Barat sedang mengalami kemajuan pesat. Hal ini berbeda dengan masa Klasik Islam. Ketika Islam berada dalam kejayaan, eropa masih berada dalam kebodohan dan keterbelakangan seperti halnya negara terbelakang sekarang dan miskin dewasa ini di Asia dan Afrika.
Kemajuan Eropa sebenarnya bersumber dari khazanah ilmu pengetahuan dan metode berfikir rasional orang-orang islam. Sebagaimana deketahui, bahwa saluran tempat ilmu pengetahuan dan peradaban Eropa bersumber di Spanyol, dimana pada masa kejayaannya banyak pelajar-pelajar Eropa datang untuk menuntut ilmu pengetahuan di unuversitas-universitas di sana. Setelah mereka menamatkan sekolah, mereka kembali ke Eropa dan mendirikan universitas sebagaimana yang ada di dunia Islam. Dalam perkembangan selanjutnya mereka inilah yang melahirkan renaissance dan reformasi di Eropa.[26]
Abad ke 16 dan 17 M. merupakan abad yang penting dalam sejarah. Pada masa itu Eropa bangkit dengan segala kekuatan untuk mengejar keterbelakangannya pada zaman klasik. Orang-orang Eropa bangkit menyelidiki rahasia alam semesta, menaklukkan lautan dan menjajahi benua yang sebelumnya masih diliputi oleh kegelapan. Mereka membuat penemuan baru dalam segala lapangan ilmu dan seni serta dalam segala kehidupan. Dengan demikian, muncul tokoh-tokoh cemerlang dalam berbagai ilmu pengetahuan , seperti Copernicus, Bruno, Galileo, Kepler, Newton, dan lain-lain yang telah meletakkan prinsip-rinsip lama dibidang ilmu pengetahuan. Di bidang penjelajahan dan penemuan daerah-daerah baru tercatat nama-nama tokohnya seperti; Colombus, Vasco da Gama, Magelhens dan lain-lain sebagainya.[27]
Dengan demikian factor-faktor diatas sejak abad XVI telah menjadi penyebab lemahnya Imperium Turki Usmani, satu demi satu wilayahnya lepas dan akhirnya Turki Usmani runtuh. Perang militer antara Turki Usmani dengan orang Eropa berubah menjadi perang agama. Ketika terbentuk persekutuan suci (Haf Miqadd) antara Austria, Polandia, dam Bundukia untuk bersama-sama menyerang Turki Usmani, maka pengaruh sangat dalam bagi kekalahan Turki Usmanidan sangat memperlemah kekuatannya. Selanjutnya atas nama agama Kristen, Rusia juga bersama-sama dengan negara Kristen lainnya menyatakan perang terhadap Turki Usmani. Akibat serangan negara-negara Kristen ini Turki Usmani mendapat pukulan keras dan menderita kerugian besar.[28]

B.     Pembaharuan Turki Usmani
Pada permulaan abad ke XVII, Turki Usmani mulai memperdebatkan cara terbaik bagi program restorasi integritas politik dan efektivitas kukuatan militer yang dimiki kerajaan. Para pembaharu pada awalnya berlandaskan kepada aturan yang digariskan Sultan Sulaiman yang menentang kemungkinan pengaruh kekuatan Kristen Eropa atas kaum Muslimin. Para modernis menganggap perlunya kekhilafahan Turki untuk mengabsi metode yang dimiliki bangsa Eropa dalam pendidikan kemiliteran, organisasi dan administrasi untuk menciptakan suatu perubahan di bidang pendidikan, ekonomi dan social yang mendukung terbentuknya negara modern. Pada abad ke delapan belas dan terutama pada abad kesembilan belas, kelompok modernis muncul dengan terang-terangan, dan akhirnya menjadi pemenang.[29]
Semenjak abad ke delapan belas, penasehat militer Eropa telah mulai diperjakan untuk memberikan latihan kemiliteran bagi pejabat militer kerajaan. Percetakan juga didirikan untuk menerbitkan beberapa terjemahan kerya Eropa di bidang teknik, militer dan geografi. Sultan Salim III (1789-1807) memperkenalkan program pembaharuan yang pertama, dikebal dengan nama Nizam-i Jedid. Rencana pembaharuan itu meliputi pembentukan korp militer baru, perluasan system perpajakan dan pelatihan untuk mendidik para kaderbagi rezim baru. Rencana yang dikemukakan oleh Sultan Salim tidak mendapatkan dukungan dari para Ulama dan kelompok militer Janissari, yang akhirnya ia menjadi kurban rencana pembaharuan tersebut. Ia kemudian digulingkan pada tahun 1807. Meskipun demikian program pembaharuan tersebut dilakasanakan pada periode Sultan Mahmud II.
1.      Sultan Mahmud II (1808-1839)
Mahmud II adalah putera Sultan Abd al-Hamid dan memperoleh pendidikan di istana di bidang bahasa-bahasa Islam klasik, agama, hokum, sastra dan sejarah. kerajaan Turki Usmani pada awal abad ke Sembilan belas dalam kondisi yang berantakan dan terpecah-belah, mengingat minimnya control politik pemerintah pusat terdapa pemerintah daerah. Didamping lemahnya konsolidasi politik internal diperburuk dengan keterlibatan kekuatan militer Turki dalam berbagai negara asing, baik dengan Perancis, Rusia, Inggris dan lain-lain seperti yang telah dikemukakan diatas tadi.
Ketika ia naik tahta dan menjadi sultan di kerajaan Turki, Mahmud II memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal. Perubahan internal itu dipusatkan pada rekonstruksi kekuatan angkatan bersenjata sehingga menjadi kekuatan yang tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan. Selain itu perbaikan tersebut dimaksudkan untuk mengkonsolidasi seluruh potensi local. Pada tahun 1826, ia merombak Janissari menjadi kekuatan militer model Eropa. Kebijakan ini akhirnya diprotes oleh Janissari yang telah berdiri pada abad keempat belas oleh Sultan Orkhan, pada tanggal 16 Juni 1826. Akhirnya pemberontakan tersebut dikenal dengan The Auspicious Incident dalam sejarah Turki.[30]
Sentralisasi kekuatan yang menjadi program utama Sultan Mahmud II secara beransur-ansur dilaksanakan. Sistem militer lama lenyap secara total pada tahun 1831 bersamaan dengan dihapusnya system feudal, timar. Kekuatan militer baru tersebut menjadi semakin loyal terhadap sultan dan menjadi alat proses sentralisasi politik dan menjadi pendorong proses modernisasi. Selanjutnya yang dilakukannya adalah tetap menjalin hubungan damai dengan kekuatan asing di Eropa. Kemudian perbaikan dibidang pendidikan bagi para pejabat militer, dokter militer dan di bidang administrasi didorong untuk memenuhi tuntutan atas pembayaran bagi para tentara dengan mendirikan berbagai sekolah baik dibidang kedokteran, sekolah music kerajaan, akademi militer kerajaan, sekolah tinggakt menengah bagi masyarakat yang akan dipersipkan untuk menjadi pegawai sipil. Selain itu didirikan juga sekolah ilmu pengetahuan umum. Terhadap system pendidikan tradisional, madrasah, ia berusaha memasukkan pengetahuan umum dalam kurikulum pendidikannya.
Selain itu administrasi pusat juga dibenahi. System kementrian medel Eropa di perkenalkan dan seluruh menteri bertanggung jawab kepada seorang perdana menteri. Selain itu untuk membantu dalam meletakkan dasar strategi perencanaan jangka panjang ia mendirikan sebuah lembaga legislative dan dikenal dengan meclis-i Ahkam-i Adliye pada 1838. Begitu juga dibuka lembaga penerjemahan pada tahun 1833. Kedutaan Besar kerajaan Turki di berbagai negara asing dibuka kembali.[31]
Kekuatan militer dan system administrasi yang telah diperbaharui tersebut pada gilirannya menjadi ujung tombak bagi perluasan kekuasaan Sultan terhadap beberapa penguasa wilayah taklukan yang hendak memerdekakan diri, dan memperkokoh kekuatan politik kerajaan.
2.         Tanzimat
Tanzimat atau dalam bahasa Turki dikenal dengan Tanzimat-i Khairiye adalah gerakan pembaharu di Turki yang dikenalkan kedalam system birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani semenjak pemerintahan Abd al-Majid (1839-1861), putra sultan Mahmud II, dan Sultan Abd al-Aziz (1861-1876). Pada periode ini diterbitkan beberapa peraturan yang bertujuan untuk memperlancar proses pembaharuan. Pembaharuan tersebut dimulai dengan diumumkannya deklarasi Gulkhane, Katti-i Syerif Gulkhane, pada tanggal 3 November 1839. Tanzimat ini ditindak lanjuti oleh Khatt-i Humayun yang diumumkan pada tanggal 18 Pebruari 1856.[32]
Tokoh utama pada periode tanzimat adalah Mustafa Pasya, yang dikenal dengan gelar Bayrakdar. Reformasi yang ia lakukan semasa ia menjadi perdana mentri adalah melakukan perubahan pada lembaga militer. Ia membentuk tentara Nizam dalam bentuk yang baru dan membentuk suatu lembaga kerajaan yang besar. Lembaga tersebut terdiri dari para pejabat tinggi, gubernur, pasya dan ayan yang berasal dari seluruh penjuru negeri.
Tokoh lain pada periode ini adalah Mustafa Rasyid Pasya (1800-1858), yang dalam banyak hal sering disebut sebagai arsitek pembaharuan abad kesembilan belas di Turki. Perkenalannya dengan dunia Barat dimulai saat ia diangkat menajdai duta besar di Paris 1834. Jabatannya sebagai duta besar di Italia memungkinkannya memungkinkannya mempelajari bahasa perancis dan melihat menajuan yang terjadi di dunia Barat. Pada masa berikutnya ia diangkat menjadi menteri luar negeri, dan sekembalinya dari London untuk misi khusus, ia mengambil inisiatif untuk mengumumkan suatu perubahan yang dikenal dalam sejarah Turki dengan nama tanzimat.
Tokoh tanzimat yang pemikirannya banyak diketahui adalah Mehmed Sadik Rifat Pasya (1807-1856). Untuk menyalurkan dan melaksanakan ide pembaharuannya, ia mendirikan Dewan Tanzimat dan ia sendiri menjadi ketuanya. Untuk menjadikan Turki sebagai kerajaan yang maju, ia mengajukan beberapa pokok pikiran. Pertama, Turki hanya dapat mencapai peradaban modern Barat bila dapat menciptakan suasana damai dan menjalin hubungan baik dengan negara-negara Barat. Untuk menjadikan Turki sebagai negara yang makmur, maka tidak ada pilihan lain kecuali dengan menghilangkan pemerintahan yang absolute, sebab, dalam tekanan pemerintahan yang otoriter, rakyat akan mengurangi semangat kerja, mengikis watak kejujuran dalam bekerja sehingga kepentingan pribadi menjadi lebih penting ketimbang kepentingan negara.
Ide pembaharuan yang mereka lontarkan mendapat sambutan dari pusat kekuasaan. Sultan Abd al-Majid, pada tanggal 3 Nofember 1839 mengumumkan deklarasi Gulkhane yang dimaksudkan untuk melakukan reorganisasi secara structural dan konprehensif atas rezim lama. Deklarasi tersebut mempunyai dua tujuan yang bersamaan; pertama, untuk memenuhi keinginan kekuatan-kekuatan bangsa Eropa, yang secara serius telah melakukan intervensi dalam beberapa urusan dalam negeri Turki sebagai pemecahan krisis Yunani. Kedua, untuk menumbuhkan rasa percaya diri pemerintahan dalam negeri.
Periode tanzimat diwanai dengan sentralisasi kekuasaan negara dan pengenalan norma-norma modern Eropa. Untuk mengenalkan norma-norma modern Eropa itu, kaidah-kaidah hokum Eropa dioerkenalkan dengan intensif, beberapa mahasiswa dikirim untuk belajar ke Eropa, dan bahkan para pejabat militer dididik di sana atau di Turki di bawah bimbingan instruktur Eropa.[33] 
3.         Usmani Muda
Seperti dijelaskan pada bagian terdahulu, periode tanzimat telah mengakibatkan terakumulasinya sebagian besar kekuatan di tangan Sultan. Tanzimat juga melahirkan perkembangan politik yang unik dengan munculnya tiga kelompok masyarakat yang memandang program itu secara kritis. Perama, kelompok oposisi dari kalangan tradisionalis. Kedua, kelompok intelektual yang telah mengenyam berbagai pelatihan birokrasi dan menguasai ide-ide Barat. Sedangkan kelompok yang ke tiga adalah mereka yang berkeinginan untuk menghapuskan Sultan sebagai sebuah kekuatan politik.
Kelompok intelektuan yang merupakan kelompok kedua dikenal dengan Umani Muda, Young Ottomans. Kelompok ini merupakan sebuah komunitas yang telah mengadakan pertemuan di Paris dan London antara tahun 1867-1871. Pandagan politik mereka banyak dipengaruhi oleh faham secular dan revolusioner terhadap ajaran Islam tradisional. Di antara tokoh Usmani Muda adalah Namik Kemal dan Midhat Pasya.[34]
Bersama Midhat Pasya dan Ziya Pasya, Namik Kemal menyiapkan perundang-undangan dan proses liberalisasi. Untuk mewujudkan peradaban Islam yang benar dengan ide pan Islam yang kuat, ia mengajak untuk kembali kepada ajaran Islam salaf dan menolak ajaran Islam lama yang tidak memuaskannya. Ia juga yang pertama mengenalkan kepada bangsa Turki konsep tanah air, wathan, konsep negara, milet, dan konsep kebebasab, hurriyet. Ketiga konsep tersebut menjadi jargon para pendukun Turki Muda.
4.      Turki Muda
Diantara tokoh Turki Muda adalah Murad Bey (1853-1912), Ahmad Reza (1859-1931) dan Pangeran Sabahuddin (1877-1948). Murad Bey, dalam pandangannya, sebab kemunduran Turki Usmani bukanlah disebabkan ajaran islam yang diadopsinya, bukan juga rakyatnya, akan tetapi yang menjadi penyebab kemunduran Turki Usmani adalah absolutism kekuasaan sultan. Untuk itu, kekuatan sultan harus dibatasi, dan selanjutnya ia mengatakan bahwa seharusnya Turki mengadopsi system kenstitusional Barat yang ada, karena system tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Untuk mengadakan konsolidasi politik di wilayah Kekuasaan Turki, ia menyodorkan faham Pan-Islam yang akan mengikat wilayah kekuasaan Turki dalam satu kesatuan agama, Islam.
Ahmad Reza berpendapat bahwa penyebab kesengsaraan rakyat bukan saja disebab oleh rendahnya teknologi. Tetapi lebih banyak oleh lemahnya system birokrasi yang ada. Dalam perjalanan intelektualnya ia berkesimpulan bahwa diantara cara untuk menjaga keruntuhan Turki Usmani adalah dengan meningkatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pandangannya tentang sentralisasi dan penolakannya terhadap campur tangan asing di Turki membuatnya berseberangan dengan Pangeran Sabahuddin yang menginginkan sebaliknya. Ia mengiginkan proses desentralisasi kekuasaan dan cacpur tangan kekuatan asing untuk membantu proses reformasi di Turki.
Dalam pandangan Sabahuddin, keperluan mendesak saat itu bagi masyarakat Turki bukanlah sebuah reformasi politik melainkan sebuah revolusi social. Sebagaimana Ahmad Reza, ia berpendapat bahwa jalan yang ditempuh untuk melakukan revolusi social tersebut adalah pendidikan.
Kaum wanita pada masa Turki Muda memperoleh perhatian besar. Di bidang pendidikan, kesempatan bagi keum wanita untuk mendapatkan pendidikan juga dibuka lebar. Kalau periode tanzimat kaum wanita telah memperoleh kesempatan belajar tingkat dasar, maka pada periode Turki Muda kesempatan bagi wanita untuk belajar tingkat menengah dan tinggi juga terbuka lebar. Pada tahun 1917 undang-undang keluarga family low, disahkan oleh pemerintah.[35]
5.      Mustafa Kemal Ataturk
Gerakan tanzimat menumbuhkan bibit-bibit nasionalisme bangsa Turki di kemudian hari. Semenjak tahun 1860, kalangan intelektual yang merupakan produk tanzimat mulai mengemukakan pendapatnya melalui gerakan Usmani Muda. Mereka berkeyakinan bahwa kerajaan Turki hanya akan dapat dipertahankan bila mau mengadopsi peradaban Eropa tanpa perobahan dari sisi struktur. Gerakan ini muncul pada saat Sultan Hamid II naik tahta dan ditindak lanjuti dengan gerakan Turki Muda tahun 1880. Mereka bersatu untuk melawan despotisme Sultan Hamid yang berbasiskan interpretasi baru atas Faham Ottomanisme. Mereka tidak lagi diikat oleh kesatuan agama melainkan ide multi-negara.[36]
Setelah kelompok Turki Muda berhasil mengalahkan gerakan pro-Abd al-Hamid tahun 1909 dengan bantuan pejabat berkebangsaan Arab, mereka melontarkan ide nasionalisme yang dikenal dengan Turanisme. Gerakan Turanisme melahirkan kebijakan Turkifikasi yang hakikatnya merupakan proses penindasan sistematis terhadap budaya dan bahasa bangsa lain yang akhirnya menimbulkan semangat nasionalisme baru dikalangan bangsa Arab lainnya. Mereka mengharapkan proses transpormasi system pemerintahan kerajaan Turki Usmani dari system otokrasi-monarkis menjadi monarki-kostitusional, dengan memberikan kepada mereka otonemi pemerintahan dan kebudayaan.Dampak nyata dari idiologi nasionalisme adalah runtuhnya system Khilafah Usmani, yang dibangun atas pemikiran politik keagamaan yang bersifat supra nasional.
Tokoh utama gerakan nasionelisme Turki adalah Mustafa Kemal, tetpi ia bukan satu-satunya pemikir yang melahirkan isiologi nasionalisme Turki. Mustafa Kemal sendiri medapatkan inspirasi dari para tokoh USmani Muda dan Turki Muda yang merupakan produk dari kebijakan reorganisasi yang dicanangkan oleh sultan Mahmud II. Di antara pemikir Turki yangmeletakkan dasar semagat nasionalisme adalah Yusuf Akcura (1876-1933) dan Zia Gokalp (1875-1924).
Mustafa Kemal Pasya, yang kemudian hari dikenal dengan Kemal Ataturk, di Anatolia, ia bekerja giat untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu mewujudkan negara Turki yang modern. Di kota tersebut ia berkiprah di Association for the Defence of the Right of Eastern Anatolia, sebuah gerakan untuk mempertahankan hak-hak masyarakat Anatolia Timur dan didirikan di Erzurum 3 Maret 1919. Asosiasi ini kemudian hari meluas menjadi asosiasi pembebasan masyarakat Anatolia dan Rumella dan Mustafa Kemal menjadi ketuanya.
Dengan ditanda tanganinya perjanjian Lausanne tanggal 24 Juli 1923, maka secara internasional Pakta Nasional Turki diakui. Berdasarkan kesepakatan grand Nasional Assembly, disebutkan bahwa yang menjadi penguasa adalah mereka yang menjadi perwakilan rakyat.
Pada tanggal 6 Desember 1922, Mustafa Kemal mendirikan Partai Rakyat dan mengundang seluruh kangan terpelajar untuk berkomunikasi lansung dengannya. Pada tanggal 16 April 1923 Grand Nasional Assembly membubarkan diri dan mempersiapkan pengadaan pemilu. Anggota Assembly baru hasil pemilu memiliki anggota 286 dan pada taggal 11 Agustus 1923 memilih Mustafa Kemal sebagai presiden dan Fethi sebagai perdana mentri. Dengan ini negara baru Turki berdiri tidak atas dasar dinasti, kerajaan, maupun agama melainkan atas dasar nation (bangsa) dengan ibukota ditengah-tengah negara Turki, yakni Ankara.
Pada tanggal 3 Maret 1924, Grand Naional Assembly, secara resmi menghapus lembaga kesultanan dan khilafah. Tidak lama kemudian kebijaksanaan hari libur nasional dirubah dari hari jum’at ke hari Minggu, dan keluar peraturan keharusan memakai busana Barat.[37]  


[1] Firdaus, Negara Adikuasa Islam, (Padang : IAIN IB Press, 2000) h. 36
[2]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ( Jakarta: UI-Press, 1985), h. 87
[3]Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, ( Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 340
[4]Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), h. 114
[5]Ibid
[6] Ibid
[7] Ahmad Salabi, Imperium Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 68
[8]Firdaus , op.cit, h.39.
[9]Ibid, h. 40
[10] Syafiq A. Mughni, op.cit, h. 114-115
[11]Firdaus , log.cit 
[12] Ahmad Salabi, op.cit, h. 79
[13] Syafiq A. Mughni, op.cit, h. 93
[14]Akbar S. Ahmad, Citra Muslim, ( Jakarta: Erlangga, 1992),h. 73
[15]Harun Nasution, op.cit, h. 53
[16]Syafiq A. Mughni, op.cit, h. 104
[17]Firdaus, op.cit, h. 44
[18]Harun Nasution, op.cit, h. 84
[19] Syafiq A. Mughni, op.cit, h. 103
[20]Ahmad Syalabi, op.cit, h.51
[21]Ibid, h. 36
[22]Firdaus, op.cit, h. 47 . lihat juga Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, (Jakarta: Djambatan, 1994), h. 30-31
[23]Ibid, h. 48
[24]Ahmad Syalabi, op.cit. h. 55
[25]Firdauf, loc.cit
[26]Harun Nasution, op.cit, 104-105
[27]Firdaus, op.cit, h. 50
[28]Ibid.
[29] Syafiq A. Mughni, op.cit, h. 121
[30]Ibid, h. 123
[31]Ibid, h. 124
[32]Ibid, h. 126
[33]Ibid, h.129
[34]Ibid, h. 132
[35]Ibid, h. 141
[36]ibid
[37]Ibid, 148-149

Tidak ada komentar:

Posting Komentar